Di masa-masa awal setelah Perang Dunia II, Tito
dikenal sebagai pemimpin yang amat loyal kepada Moskow. Di Blok Timur, ia
dianggap sebagai orang kedua setelah Stalin. Tapi sesungguhnya, hubungan Tito
dengan pemimpin Rusia itu tak semulus yang tampak. Stalin merasa ada ganjalan
karena menilai sikap Tito terlalu independen.
Dan itu terbukti beberapa waktu kemudian. Pemimpin Yugoslavia
itu melepaskan sama sekali persekutuannya dengan Uni Soviet. Tito memandang,
negerinya berhak meraih keinginannya sendiri. Tambahan lagi, adanya sejumlah
insiden yang membuat Moskow gerah. Satu diantaranya, sikap Tito yang
terang-terangan membela kelompok “pemberontak” saat terjadi Perang Saudara di
Yunani. Sementara, Stalin memilih diam karena perjanjiannya dengan Churchill.
Lebih menyakitkan lagi, setelah Tito mengumumkan
model pembangunan ekonomi yang ditempuh Yugoslavia, yang lepas dari pengaruh
Uni Soviet. Dalam salah satu suratnya ke Istana Kremlin, Tito menulis, “Kami
mendalami dan mengambil sistem Soviet sebagai contoh, tapi kami ingin
mengembangkan sosialisme yang berbeda di negeri kami. Bukan masalah betapa
cinta kita kepada tanah asal sosialisme, Uni Soviet, toh kami tentu lebih
menyintai negeri sendiri.”
Sejak itu, model sosialisme yang dikembangkan Tito
mendapat julukan “Titoisme.” Celakanya, Stalin yang marah menjadikan
perselisihan ideologi itu sebagai masalah pribadi. Pemimpin Soviet itu lantas
berkali-kali mengirim pasukan pembunuh untuk menghabisi Tito. Ujung-ujungnya,
Tito melayangkan surat ke Istana Kremlin dan memperingatkan Stalin agar
menghentikan percobaan pembunuhan itu.
“Berhentilah mengirim orang untuk membunuh saya.
Kami telah menangkap lima orang. Seorang di antaranya dengan bom, dan yang
lainnya dengan senapan. Bila Anda tidak juga berhenti mengirim orang, saya
hanya perlu mengirim satu orang ke Moskow, dan saya pastikan dia tidak gagal,
sehingga saya tak perlu mengirim orang kedua.”
Pada tanggal 14 Januari 1953, Tito terpilih menjadi
presiden Yugoslavia menggantikan Ivan Ribar. Dalam posisi itulah ia bersama
tiga pemimpin negara Dunia Ketiga – Soekarno, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah,
dan Gamal Abdel Nasser- menggagas pembentukan Gerakan Nonblok beberapa tahun
kemudian.
Banyak tokoh dunia mengakui kehebatan Tito. Ia dilukiskan
sebagai diplomat sangat ulung, yang luwes bergaul dengan Blok Barat dan Blok
Timur. Walau masuk dalam jajaran negara sosialis, Tito tidak pernah membawa
negerinya masuk ke dalam salah satu blok itu. Di bawah kepemimpinannya,
Yugoslavia tumbuh menjadi negara sosialis yang kuat di Eropa Timur tanpa harus
menjadi anggota Pakta Warsawa ataupun Organisasi Pertahanan Atlantik Utara
(NATO).
Di dalam negeri, ia berhasil menyeimbangkan semua
kekuatan yang punya potensi bertikai dan pecah di antara enam negara bagian dan
dua daerah otonom. Stabilitas politik negeri itu terbangun di atas
kepiawaiannya menghidupkan rasa nasionalisme di antara kelompok-kelompok yang
berbeda itu.
Guna mengimbangi cara memerintahkannya yang terkesan
otoriter, Tito menjadikan Yugoslavia sebagai negara sosialis yang paling terbuka
di dunia. Warga negara Yugoslavia dengan mudah terbuka diizinkan bekerja dan
berkunjung ke negara-negara Eropa Barat. Demikian juga sebaliknya. Pertukaran
ide dan peningkatan kerja sama ilmu pengetahuan dengan dunia Barat berjalan
baik.
Tapi sayangnya, hanya berselang sepuluh tahun
setelah ia wafat, muncul perang saudara yang membuat negeri yang dibangunnya,
terpecah belah. Menurut pakar tentang Balkan, Sergey Baburin, pemerintahan
federasi yang dibentuk Tito justru menjadi penyebab berlangsungnya Serbianisasi
Yugoslavia. Model seperti itu, membuat etnis Serbia berkuasa di mana-mana,
sedangkan etnis lain seperti Albania dan Bosnia menjadi pihak yang tersingkir.
Tito memanfaatkan potensi konflik dan instabilitas itu sebagai prinsip politik
yang konsisten diterapkan.
Tito mangkat pada 4 Mei 1980 setelah empat bulan
dirawat di Rumah Sakit Ljubljana. Sebelumnya, ia mengalami masalah pada
peredaran darah di kaki, sampai anggota tubuhnya itu sempat diamputasi. Boleh
jadi, acara pemakamannya merupakan yang terhebat di antara pemimpin dunia
lainnya. Tak kurang, pemimpin dari 128 negara dari semua blok yang ada, hadir
dan berkumpul di acara itu.
Tito pun tampaknya sudah merasa, Yugoslavia tidak akan awet
sepeninggalnya. Di hari-hari menjelang wafat, ia pernah berujar: “Sayalah orang
Yugoslavia terakhir.” Ucapannya terbukti, sudah hampir dua dasawarsa ini
Yugoslavia hilang dari peta dunia.
Pernah diterbitkan di ESQ Magazine No. 02/V Januari 2009