Senin, H / 13 Mei 2024

Yugoslavia: Negara yang Hilang (bagian 3)

Senin 23 Oct 2023 14:32 WIB

Reporter :Endah Diva Qaniaputri

Peta Negara Yugoslavia

Foto: gsp.yale.edu


Di masa-masa awal setelah Perang Dunia II, Tito dikenal sebagai pemimpin yang amat loyal kepada Moskow. Di Blok Timur, ia dianggap sebagai orang kedua setelah Stalin. Tapi sesungguhnya, hubungan Tito dengan pemimpin Rusia itu tak semulus yang tampak. Stalin merasa ada ganjalan karena menilai sikap Tito terlalu independen.

Dan itu terbukti beberapa waktu kemudian. Pemimpin Yugoslavia itu melepaskan sama sekali persekutuannya dengan Uni Soviet. Tito memandang, negerinya berhak meraih keinginannya sendiri. Tambahan lagi, adanya sejumlah insiden yang membuat Moskow gerah. Satu diantaranya, sikap Tito yang terang-terangan membela kelompok “pemberontak” saat terjadi Perang Saudara di Yunani. Sementara, Stalin memilih diam karena perjanjiannya dengan Churchill.

Lebih menyakitkan lagi, setelah Tito mengumumkan model pembangunan ekonomi yang ditempuh Yugoslavia, yang lepas dari pengaruh Uni Soviet. Dalam salah satu suratnya ke Istana Kremlin, Tito menulis, “Kami mendalami dan mengambil sistem Soviet sebagai contoh, tapi kami ingin mengembangkan sosialisme yang berbeda di negeri kami. Bukan masalah betapa cinta kita kepada tanah asal sosialisme, Uni Soviet, toh kami tentu lebih menyintai negeri sendiri.”

Sejak itu, model sosialisme yang dikembangkan Tito mendapat julukan “Titoisme.” Celakanya, Stalin yang marah menjadikan perselisihan ideologi itu sebagai masalah pribadi. Pemimpin Soviet itu lantas berkali-kali mengirim pasukan pembunuh untuk menghabisi Tito. Ujung-ujungnya, Tito melayangkan surat ke Istana Kremlin dan memperingatkan Stalin agar menghentikan percobaan pembunuhan itu.

“Berhentilah mengirim orang untuk membunuh saya. Kami telah menangkap lima orang. Seorang di antaranya dengan bom, dan yang lainnya dengan senapan. Bila Anda tidak juga berhenti mengirim orang, saya hanya perlu mengirim satu orang ke Moskow, dan saya pastikan dia tidak gagal, sehingga saya tak perlu mengirim orang kedua.”

Pada tanggal 14 Januari 1953, Tito terpilih menjadi presiden Yugoslavia menggantikan Ivan Ribar. Dalam posisi itulah ia bersama tiga pemimpin negara Dunia Ketiga – Soekarno, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah, dan Gamal Abdel Nasser- menggagas pembentukan Gerakan Nonblok beberapa tahun kemudian.

Banyak tokoh dunia mengakui kehebatan Tito. Ia dilukiskan sebagai diplomat sangat ulung, yang luwes bergaul dengan Blok Barat dan Blok Timur. Walau masuk dalam jajaran negara sosialis, Tito tidak pernah membawa negerinya masuk ke dalam salah satu blok itu. Di bawah kepemimpinannya, Yugoslavia tumbuh menjadi negara sosialis yang kuat di Eropa Timur tanpa harus menjadi anggota Pakta Warsawa ataupun Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Di dalam negeri, ia berhasil menyeimbangkan semua kekuatan yang punya potensi bertikai dan pecah di antara enam negara bagian dan dua daerah otonom. Stabilitas politik negeri itu terbangun di atas kepiawaiannya menghidupkan rasa nasionalisme di antara kelompok-kelompok yang berbeda itu.

Guna mengimbangi cara memerintahkannya yang terkesan otoriter, Tito menjadikan Yugoslavia sebagai negara sosialis yang paling terbuka di dunia. Warga negara Yugoslavia dengan mudah terbuka diizinkan bekerja dan berkunjung ke negara-negara Eropa Barat. Demikian juga sebaliknya. Pertukaran ide dan peningkatan kerja sama ilmu pengetahuan dengan dunia Barat berjalan baik.

Tapi sayangnya, hanya berselang sepuluh tahun setelah ia wafat, muncul perang saudara yang membuat negeri yang dibangunnya, terpecah belah. Menurut pakar tentang Balkan, Sergey Baburin, pemerintahan federasi yang dibentuk Tito justru menjadi penyebab berlangsungnya Serbianisasi Yugoslavia. Model seperti itu, membuat etnis Serbia berkuasa di mana-mana, sedangkan etnis lain seperti Albania dan Bosnia menjadi pihak yang tersingkir. Tito memanfaatkan potensi konflik dan instabilitas itu sebagai prinsip politik yang konsisten diterapkan.

Tito mangkat pada 4 Mei 1980 setelah empat bulan dirawat di Rumah Sakit Ljubljana. Sebelumnya, ia mengalami masalah pada peredaran darah di kaki, sampai anggota tubuhnya itu sempat diamputasi. Boleh jadi, acara pemakamannya merupakan yang terhebat di antara pemimpin dunia lainnya. Tak kurang, pemimpin dari 128 negara dari semua blok yang ada, hadir dan berkumpul di acara itu.

Tito pun tampaknya sudah merasa, Yugoslavia tidak akan awet sepeninggalnya. Di hari-hari menjelang wafat, ia pernah berujar: “Sayalah orang Yugoslavia terakhir.” Ucapannya terbukti, sudah hampir dua dasawarsa ini Yugoslavia hilang dari peta dunia.

Pernah diterbitkan di ESQ Magazine No. 02/V Januari 2009


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA