Oleh: Faqih Al Fadlil
(Guru di MILBoS
Internasional)
ESQNews.id, JAKARTA - Salah satu hal yang
diinginkan seorang pengantin adalah anak. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim yang
sudah berumur, namun belum juga dikaruniai anak. Juga Nabi Zakaria yang
mengalami hal sama. Namun akhirnya mereka mendapatkan buah hati yang sudah
diidam-idamkan bertahun-tahun lamanya. Tentu saja mereka sangat bahagia dan
senang bukan kepalang dengan kehadiran sang buah hati.
Pun sama dengan orang-orang
di sekitar kita yang sangat sulit sekali mendapatkan anak. Walau sudah berusaha
dengan banyak cara, tapi belum juga dapat hasilnya. Kadang membuat mereka
frustrasi dan galau karena hal tersebut. Hingga mereka memutuskan untuk
mengadopsi seorang anak. Walau bukan darah dagingnya, akan tetapi cukup membuat
rumah tangga mereka lebih berwarna.
Di sisi lain, banyak orang yang tidak menginginkan kehadirannya. Mereka
membuang anak mereka secara cuma-cuma. Hanya karena takut menghadapi dunia yang
penuh fitnah. Padahal Allah sudah menentukan rezekinya. Atau mungkin karena
malu, sebab berasal dari kecelakaan yang “disengaja."
Ada juga pasangan pengantin
yang memang sengaja tidak ingin mendapatkan seorang anak. Mereka memiliki
prinsip yang tidak jelas ujung pangkalnya. Beranggapan bahwa anak hanya membuat
susah hidup mereka. Mereka juga yang nanti bakal menyengsarakan orang tua. Bisa
juga mereka tidak peduli sama sekali dengan orang yang melahirkan dan
merawatnya.
Ya, banyak sekali macam
orang di dunia. Yang jelas, kebanyakan orang sangat menanti seorang anak yang
selalu bikin ramai dan meriah. Hingga timbul rasa cinta kepada mereka, sebab
kepada merekalah tongkat estafet akan diberikan. Kepada merekalah reputasi
keluarga akan dilanjutkan dan diteruskan. Maka apa saja akan dilakukan oleh
orang tua kepada anaknya.
Cinta itu baik asalnya. Dan cinta itulah yang mendatangkan rasa senang dan
bahagia. Cinta orang tua kepada anak adalah contohnya. Apa saja kebaikan yang
dilakukan, diraih, dirasakan oleh sang anak, orang tua pun akan gembira dan
bahagia. Sebaliknya, bila keburukan dilakukan, dirasakan, didapatkan oleh sang
anak, maka orang tua pun akan merasakan kesedihan hingga mendalam. Itulah
cinta.
Akan tetapi, kadang terjadi salah kaprah dalam urusan ini. Karena cinta, orang
tua menuruti apa saja yang diinginkan oleh sang anak. Beli HP buat main PUBG,
oke. Beli makanan junkfood setiap saat, oke. Beli motor untuk bisa nongkrong
bersama teman-teman, oke. Izin pacaran dengan lawan jenis, oke. Semuanya oke,
hingga tak sadar bahwa itu telah merusak masa depan sang anak.
Cinta telah membutakan mata dan hati orang tua. Menuruti apa saja yang
diinginkan oleh sang anak hanya karena ingin mendapat balasan cinta. Padahal
itu adalah fitnah. Sebuah tindakan yang tidak pernah diajarkan oleh nabi kita.
Melewati batas kata cinta itu hingga buta. Tak terasa diri sudah menjadi budak
manusia.
Mungkin tak semua orang tua setuju dengan kata “kekerasan”. Naik suara dianggap
keras dan kejam. Memberi hukuman disebut bar-bar. Memukul dikatakan mengerikan.
Sehingga orang tua tidak pernah sama sekali memarahi atau menghukum sang anak
bila melakukan kesalahan. Mereka hanya membiarkan atau mencegahnya saja agar
tidak diteruskan. Namun di hari-hari berikutnya tetap saja dilakukan. Dan orang
tua tidak mau marah karena takut akan dibenci oleh sang anak.
Hasilnya adalah anak manja. Mereka tidak bisa hidup mandiri dan selalu
tergantung pada orang tua. Mudah menangis dan sakit hati. Mereka tidak bisa
survive dengan kehidupan yang keras. Makanya yang tercipta adalah mental yang
lemah dan payah.
Hingga suatu saat nanti
orang tua akan merasakan bagaimana punya anak yang selalu membuntut pada
mereka. Tidak bisa lepas dari “ketek” mereka. Bahkan mungkin suatu saat nanti
mereka membuat masalah sehingga membuat kita susah. Sedangkan umur sudah tua.
Saya sangat ingat sekali dengan perkataan Cak Nun dalam salah satu ceramahnya.
Ada 4 hal yang perlu kita tanamkan kepada anak. Pertama, akhlak. Ini adalah hal
yang sangat penting. Akhlak di sini maksudnya sudah mencakup aqidah dan ibadah.
Karena akhlak, aqidah, dan ibadah tidak bisa terpisah. Ibarat buah, aqidah
adalah biji. Ibadah adalah daging. Dan kulit adalah akhlak. Tanpa itu semua,
yang lainnya jadi nggak penting. Bisa ini bisa itu, kalau tidak punya akhlak,
semuanya ambyar.
Kedua, militer. Maksudnya bagaimana kita mendidik anak menjadi disiplin,
tangkas, dan kuat. Apakah harus dengan mukul? Tidak harus. Namun bila itu
sangat dibutuhkan, maka tak masalah. Bahkan nabi pun memerintahkan kita bila
seorang anak ketika sudah berumur 10 tahun dan tidak mau shalat, kita bisa memberinya
“pukulan”. Asalkan tidak melukai dan menyakitkan. Paling tidak membuat jerah.
Dan itu adalah pilihan terakhir bila semua ajakan, nasihat, motivasi sudah
tidak bisa didengarkan lagi.
Ketiga, hitungan. Yang dimaksud di sini bukan hanya matematika. Segala macam
yang berhubungan dengan hitungan. Yang intinya adalah dalam bertindak, kita
harus selalu memperhitungkan. Bila ngobrol dengan orang ini harus bagaimana.
Dengan orang itu perlu bagaimana. Kalau mau pergi ke sana harus bawa apa saja.
Semuanya perlu diperhitungkan dengan baik. Karena itu sangat mempengaruhi
feedback di masyarakat.
Yang terakhir adalah IT. Karena di zaman kita sekarang sudah sangat modern.
Segala sesuatu sudah berhubungan dengan teknologi. Maka sulit sekali bisa hidup
di zaman sekarang tanpa mengenal semua ini. Bahkan di masa pandemi ini
anak-anak sekolah menggunakan IT untuk belajar. Karena sekolah di tutup untuk
sementara.
<more>
Naik suara itu bukan benci. Tidak menuruti anak bukan berarti tidak sayang.
Memukul itu tidak bermakna kesal. Itu adalah bukti nyata bahwa kita perhatian
kepada anak. Walau itu semua, tindakan yang mungkin agak keras, adalah jalan
terakhir bila anak memang sudah sangat susah untuk dikendalikan. Sekali lagi,
itu jalan terakhir.
Maka seharusnya kita hanya perlu melakukan apa yang sebenarnya harus dan perlu
untuk dilakukan. Kita tidak bisa menuruti kemauan anak yang liar dan tak ada
batas. Pendidikan tidak mengajarkan seperti itu.
Dan itu pun sama dengan
yang dilakukan nabi. Kepada anaknya pun tegas. Ketika anak beliau menginginkan
seorang pembantu untuk mengurusi rumahnya, yang dilakukan Rasulullah bukan
memberinya budak. Malah beliau mengajarkan dzikir agar dicukupkan hidupnya.
Intinya, cinta itu harus dilandasi dengan iman dan ilmu. Ketika cinta hanya
sekadar cinta, hasilnya bisa berbahaya. Cinta itu sendiri yang akan membunuh
kita akhirnya. Namun cinta yang dilandasi oleh iman dan ilmu. Kita tahu apa
yang perlu dilakukan. Dan kita yakin bahwa itu benar untuk dilakukan.
Hati kita juga mantab bahwa Allah-lah yang akan menjaganya. Maka kita tidak perlu takut untuk memberinya segenap pendidikan. Kita tidak risau untuk memberinya tantangan dan pelajaran. Karena itu demi kebaikan. Terpisah jauh untuk pendidikan, hanya perlu bersabar. Tidak perlu kasihan, semuanya akan baik-baik saja dan terkendali. Memang cinta itu buktinya adalah memberi. Memberikan sesuatu yang terbaik yang bisa diberikan. Bukan sembarangan. Wallahua’alam.