Senin, H / 13 Mei 2024

Meniti Jalan Kembali

Kamis 28 Sep 2023 15:07 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: unsplash


Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - Setiap diri, pasti menyadari, bahwa kesalahan, jelas menuai petaka, berbuah susah. Ibarat menempuh sebuah perjalanan, kesalahan adalah sebentuk ketersesatan arah. Menyimpang jauh dari jalur yang semestinya ditempuh. Ketersesatan semacam ini, jika tidak segera disadari, kemudian kembali atau mencari jalur alternatif untuk bisa segera ke jalur yang seharusnya, maka ujung-ujungnya tidak akan pernah sampai tujuan. Namanya saja tersesat.


Begitu pun dengan setiap kesalahan di dalam kehidupan ini. Maka, cepat atau lambat harus segera disadari. Lantas, sesegera mungkin mengambil langkah kembali. Di jalan benar menuju-Nya. Sadar, mengakui kesalahan. Menyesali, lantas mengambil langkah untuk kembali inilah yang musti ditempuh. Tentu saja tidak mudah. Tersesat ketika jalan-jalan saja sudah sedemikian menyusahkan dan membuang banyak waktu di perjalanan. Apalagi ini perjalanan ruhani, yang tidak selesai di dunia, tetapi terus berlanjut sampai di kehidupan akhirat sana.


Jelas kita masih ingat kisah terusirnya Iblis dan Nabi Adam dari surga. Keduanya menuai petaka, memanen susah, sebab tidak taat perintah. Iblis menolak perintah Allah Swt untuk bersujud kepada Nabi Adam. Sedang Nabi Adam, tidak kuasa untuk tidak mencicipi buah Khuldi yang sudah dilarang-Nya. Keduanya pun menerima hukuman dengan terusir dari surga-Nya yang memang dicipta hanya untuk hamba-hamba yang taat.


Meski berawal dari kesalahan, ketersesatan jalan. Namun, akhir keduanya sungguh sangat jauh berbeda. Iblis tetap saja tersesat, sebab tidak sekali pun menyadari kesalahan yang sudah diperbuatnya. Merasa paling benar, sombongnya tidak terkendali lagi. Sehingga, tidak merasa terharuskan untuk membenahi diri dan kembali lurus di jalan-Nya. Dan nerakalah, satu-satunya muara dari perjalanannya, abadi selamanya.


Sedang Nabi Adam menyadari betul akan kesalahan yang sudah diperbuatnya. Sehingga, ketika di bumi, tidak henti-hentinya menangis. Meratapi dan menyesali kesalahannya. Setulus diri memohon ampun kepada Allah Swt. Ujungnya, Allah Swt mengampuni Nabi Adam, dan menyelamatkannya kembali sampai di surga lagi.


Demikianlah, betapa sangat pentingnya kesadaran dalam banyak hal. Terlebih, segera menyadari ketika diri berbuat salah, dengan berani mengakui. Kemudian, kembali memperbaiki untuk betul-betul taat di jalan-Nya. Sayang, kesadaran-kesadaran begini sudah mulai melangka. Jarang termiliki oleh setiap pribadi. Tidak sedikit, orang yang sudah nyata-nyata berbuat salah, tetapi sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sedang ribut melakukan kesalahan. Parahnya, ketika diingatkan bahwa sedang salah, malah marah-marah.


Memusuhi yang mengingatkan sembari mencarikan pembenaran-pembenaran atas seluruh tindakan salah yang dibiasakannya. Payah pokoknya. Lebih parah lagi, dimanipulasi dalil-dalil agama demi menutupi rasa malu diri atas kesalahan yang tidak berani diakui. Ini, bukan orang-orang awam yang melakukan, bukan orang-orang bodoh. Tetapi lebih sering dari golongan mereka yang berada "di atas", berpekerjaan sebagai penceramah, diidolakan banyak orang, pinternya amit-amit. Na'udzubillah.


Ada juga, yang sebenarnya sudah sadar kalau sedang salah, mengakuinya juga. Tetapi, tidak punya keberanian untuk memperbaiki kesalahannya itu. Ada saja yang ditakutkan, yang menjadikannya semakin enggan menyudahi kesalahan yang terbiasakan itu. Kesalahan yang sudah ternikmati sekuat nafsu diri. Lebih-lebih dilengkapi bahwa kesalahan-kesalahan itu terkait dengan pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan diri. Semoga tidak Anda?


"Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Az-Zumar: 53).


Dari itu, alangkah selamatnya diri jika setiap saat hanya sibuk memperbaiki diri. Tentu, kita juga paham bahwa manusia tempatnya salah dan lupa. Tetapi, atas dua jenis kelemahan itu, Allah Swt siap menyongsong sepenuh bahagia kepada hamba-hamba-Nya yang mengakui kesalahan, berpasrah dan penuh rendah hati memohon ampunan-Nya.


Allah Swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Aku tergantung persangkaan hamba kepada-Ku. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingat-Ku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diri-Ku. Kalau dia mengingat-Ku di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (H.R. Bukhari dan Muslim).


Semoga kita semua dianugerahi kesadaran dan kekuatan untuk terus berbenah diri.

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA