Senin, H / 13 Mei 2024

Berpantang Kecewa

Senin 18 Feb 2019 11:21 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: istimewa

*Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - "Kadang, tanda cinta Allah terhadap seseorang itu, Allah akan biarkan hati dia hancur berkali-kali sampai dia rasa tak ada lagi harapan di dunia ini. Dan itu akan membuat dia punya harapan hanya untuk Allah saja." (Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani).


Jika niat kita ngopi, kemudian di tengah jalan terdapat satu kendala yang menjadikan kita tidak jadi ngopi. Maka, janganlah pernah dijadikan soal. Tidak usah sedih. Apalagi marah-marah tidak jelas. Sebab, begitulah hidup. Kadangkala, apa yang menjadi keinginan dan niatan kita, tidak lantas mewujud menjadi sebuah kenyataan. Tidak jarang, sesuatu yang tidak pernah terbersit di pikiran, nyata terjadi di luar dugaan. Sehingga, langkah terbaik hanyalah menikmati saja apa yang telah disajikan-Nya di hadapan kita. Dan kalau sudah menjadi perkenan-Nya, jelas itulah yang sesungguhnya kita butuhkan. Pastinya, dipilihkan-Nya yang terbaik dan terindah untuk kita.


Tenang. Semua yang tidak tercapaikan sebagaimana yang diinginkan, itu bukanlah sebuah kegagalan. Tetapi, lebih pada kuasa Allah SWT di dalam memberikan pilihan-pilihan yang lain, yang saat itu, paling tepat, paling baik dan pasti indah. Meski, semua kenikmatan itu selalu terlambat dipahami. Meski, hal lain yang menjadi perkenan-Nya itu, selalu dimulai dari ketidakrelaan diri, merasa gagal, dan seabreg perasaan yang lebih sering menumbuhkan luka nan kecewa. Tetapi, bagi yang meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah satu-satunya yang berkuasa memilihkan jalan hidup manusia, apa pun saja yang terjadi, bagaimana pun juga nasib diri, pasti disongsong penuh suka cita, dengan senang hati. Di sinilah, terkuaknya rahasia hikmah.


Nah, untuk segera sampai pada kondisi  diri yang rela, menyerah, pasrah dengan semua yang sudah menjadi kehendak-Nya, itulah yang kemudian seringkali mengalami kendala. Tidak sekilas. Bukan cuma sebentar. Tetapi, seringkali sangat lama. Sangat membekas di hati. Dan pasti terasa sangat sakit dan menyiksa diri. Ketidakmampuan diri memahami segala yang terjadi dengan baik, juga semua yang seharusnya dihadapi, jika tidak segera dikembalikan kepada Yang Maha Menakdirkan, Allah SWT, maka di dalam diri akan terus menerus memproduksi gemuruh rasa tidak terima, stress, frustrasi, patah hati, putus semangat, dan melahirkan beragam ketidakbaikan lain yang lahir di dalam diri. Ujung-ujungnya, menjadikan diri semakin tidak bisa menikmati keadaan. Dan dalam kondisi yang selalu beginilah, susah-susahnya hidup yang sesungguhnya.


Jika sudah dari dalam diri tidak beres. Hati dan pikiran dirasuki segala ketidakbaikan yang tidak karu-karuan, efeknya adalah tubuh yang ragawi ini ikut terkena imbas, menjadi sakit akhirnya. Banyak 'kan tubuhnya yang tiba-tiba rapuh dan menjadi sakit-sakitan cuma dikarenakan pikiran sering stress dan hati tidak bisa tenang?


Jadi, misalnya tidak kesampaian menikmati secangkir kopi (ini hanya contoh sangat sederhana dari sekian banyak kondisi "ruwet" di dalam diri). Maka, selain kenikmatan kopi, hidup bisa terasa sangat tidak pas, tidak enak semua. Tetapi sebaliknya, jika diri paham betul bahwa apa yang di hadapan kita adalah jelas sudah menjadi perkenan Allah SWT, semata adalah pilihan-Nya atas keinginan-keinginan kita yang digantikan-Nya, maka biar pun segelas teh tawar sebagai pengganti kopi, akan menjadi semakin enak saja dinikmati.


Sedang, dalam hal ini, setiap kita musti sadar diri, kenal diri dengan lebih baik. Ibaratkan lebah, jika tidak jadi hinggap di satu bunga, pasti dihinggapkan-Nya ke bunga yang lain. Tidak mungkin ke tumpukan kotoran. Baru, jika serupa lalat, ketika tidak bisa santai di satu kotoran, pasti diletakkan kenyamanan pada kotoran lainnya. Begitu pun manusia. Apa yang diperkenankan-Nya, Insya Allah tidak jauh-jauh amat dari isi terdalam yang ada di hatinya sendiri. Jika hatinya lalat, kasihan kalau didekatkan dengan wewangian bunga-bunga. Menyiksa. Sebab, hanya kotoran tempat terindahnya. Begitu pun jika hatinya lebah, ya jelas di antara bunga-bunga akan mengepakkan sayap hinggap kesana-kemari. Sehingga, semulia apa pun lingkungan dan kondisi di sekeliling diri, jika ternyata hatinya lalat, pasti ketidakbaikan yang selalu ditemukan, hanya keburukan-keburukan yang dikorek dari siapa pun dan apa pun. Inilah, yang lantas menumbuhkembangkan tradisi rasan-rasan. Sebaliknya, jika hatinya lebah, di dalam kondisi setidakbaik apa pun, pasti hanya kemuliaan-kemuliaan yang ditemukan. Hanya hati yang baik, yang penuh prasangka baik.


Selebihnya, segala apa yang dihadirkan-Nya dan sama sekali tidak sesuai dengan keinginan kita, sesungguhnya hanya semacam alat ukur untuk mengetahui seberapa berkualitas tingkat syukur dan kesabaran kita saja. Dijalani, dinikmati. Sabar sebentar, lantas disyukuri. Begitu semestinya. Sehingga, ketika yang diinginkan diwujudkan-Nya untuk dinikmati, maka haruslah disyukuri betul. Setelahnya, harus dibatasi dengan kesabaran. Dengan demikian, rasa bahagia atas kenikmatan itu tidak terlalu, tidak akan sampai pada berfoya-foya dan melampaui batas yang justru sia-sia. Biasa saja. Toh semua juga ujian-Nya. Sebaliknya, ketika yang diinginkan belum terwujud sesuai keinginan. Lantas digantikan-Nya dengan sesuatu yang lain, maka diri harusnya bersabar. Ini jelas yang terbaik atas kondisi diri kita. Disabari terus, nantinya akan memunculkan kebahagiaan yang akan menjadikan diri jauh lebih bersyukur. Sambil manggut-manggut akan menyadari, "oooAllah, untung dulu tidak diberikan apa yang saya pinta." Lalu bersyukur penuh haru.


Dan yang musti diingat. Sebenarnya, semua yang disajikan-Nya hanya semacam media untuk menguji, serupa alat ukur saja. Masa' kok alat ukur hendak dirusak? Kita ingin kopi, lantas yang ada cuma segelas teh tawar, masa' mau dibuang? Menolak rezeki itu namanya. Sabar. Tetap dinikmati. Lagian, keberhasilan hidup itu tidaklah diukur dari pencapaian-pencapaian atas sebuah ambisi. Bukan itu. Akan tetapi, bagaimana kita tetap bertahan dalam kebaikan di setiap keadaan. Sehingga, apa yang kita ingini dan niatkan adalah kebaikan. Usaha dan kerja keras meraihnya pun juga dengan cara-cara yang baik. Kemudian, di ujungnya, berhasil ataukah ditakdirkan-Nya dalam rupa yang lain, menjadikan kita semakin baik.


Tidak ada yang tidak berhasil dalam setiap detail rencana dan keinginan manusia. Semua berhasil, dalam kadar dan kesanggupan diri yang hanya Allah Swt Yang Maha Mengetahui dan Menakdirkan atas segala yang terbaik dan terindah untuk dijalani hamba-hamba-Nya.


"Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Q.S. Al Baqarah: 216).

Nastaghfirullah al-adhim. Wa na’udzubillahi min syururi anfusina wamin sayyi-ati a’malina.

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.


Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA