Selasa, H / 14 Mei 2024

Lika-Liku Hidup

Selasa 03 Oct 2023 10:27 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: ncp


Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - Ada yang sedang sakit. Lantas, memohon kesembuhan. Bukannya sembuh, tetapi sakit semakin menjadi. Sembari berobat kesana-sini. Tidak putus-putusnya bermohon kesembuhan. Tidak jua ada perubahan berarti. Sakit, tetap sakit. Di sisi yang lain, ada yang dilimpahi kemakmuran hidup. Sekali pun tidak pernah bersyukur. Sekadar ingat Ke-Mahakasih dan Sayang-Nya Allah Swt pun tidak. Tetapi, semakin makmur saja hidupnya.


Pernah menjumpa yang serupa dua kejadian itu? Atau bahkan pernah mengalami sendiri?

Menjumpa kejadian pertama, hati jelas "trenyuh". Sebagai manusia berperasaan, pasti  timbul rasa belas kasihan. Iba. Sedang, untuk yang kedua, tidak jarang membikin hati gemes. Grememet. Dan, apakah sikap kita atas kedua kejadian itu mampu mengubah keadaan mereka? Tragedi kehidupan yang mereka jalani, bukan semata untuk menguji mereka yang ditimpa kepastian. Justru, kita yang tahu dan melihatnya pun, mendapat ujian dari semua kejadian itu. Bahkan, ujian bagi orang yang melihat, terkadang lebih berat dan jarang yang lulus.


Bukankah sekarang ini jauh lebih kuat orang yang dikomentari daripada mereka yang berusaha menahan diri untuk tidak mengkomentari?

"Biarkan anjing menggonggong. Kafilah tetap berlalu." Ini, tidak semata slogan untuk abai terhadap komentar apa pun saja. Tetapi, kegigihan diri untuk tidak terpengaruh apa pun saja yang di luar diri. Sehingga, menjalani kehidupan menjadi semakin ringan dan penuh kedamaian. Selesai. Namun, bagi mereka yang tahu dan melihat diri yang sedang diuji, bisa jadi belum bisa selesai. Tetap saja berkomentar. Tidak jarang dibumbui macam-macam. Lebih-lebih jika hati sudah terasuki iri-dengki dan benci. Parah lagi, jika diri hanya terselimuti oleh prasangka-prasangka yang tidak baik. Maka, kemana-mana, fitnah yang ditebar, berita tidak benar yang digembar-gemborkan. Jadi, bisa jadi yang sedang diuji sudah tenang-tenang dan hidup damai. Tetapi, yang melihat, masih sibuk kesana-kemari menguras energi sambil mencaci maki.


Lantas, bagaimana agar bisa segera mensudahi nafsu kepo terhadap manusia yang lain? Bagaimana supaya diri tidak terjebak pada kegemaran menduga-duga atas apa saja yang dialami orang lain? Dengan cara apa agar hilang segala rupa prasangka yang tidak benar? Tentu, tidak lain adalah dengan potong kompas bahwa semua semata perkenan terbaik dari Allah Swt. Tidak ada yang sia-sia segala apa yang sudah ditakdirkan Allah Swt. Semua mengandung hikmah bagi umat manusia. Misalkan, menjumpa suatu kejadian yang menumbuhkan iri-dengki atau keinginan kuat untuk mencurigai, segera yakinkan diri bahwa semua sudah menjadi kepastian Allah Swt. Selesai. Ada yang kariernya sedang meroket. Tenang saja. Allah Swt-lah yang meninggikan. Jika ketemu yang kebetulan dilanda ketidak-enakan hidup. Santai saja. Allah Swt jugalah yang menimpakan semua. Jika demikian, hidup menjadi ringan dan hati penuh dengan kedamaian.


"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.S. Ali Imran: 191).

"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah." (Q.S. Shad: 27).

Selebihnya, semua itu, seharusnya semakin menyadarkan diri bahwa taat dan ingkarnya manusia sama sekali tidak menambah atau mengurangi keagungan Allah Swt. Bahkan, untuk menganugerahi semua kenikmatan manusia, Allah Swt tidak pernah mensyaratkan harus begini dan begitu. Semua diberi atas dasar kehendak-Nya sendiri. Sehingga, jika selama ini kita beranggapan bahwa ketaatan dalam rupa beragam ibadah adalah untuk-Nya, itu salah. Sejatinya, taat dan ingkarnya manusia, justru kembali kepada manusia itu sendiri. Jika taat, patuh pada setiap aturan-Nya, jelas yang berbahagia di surga-Nya kelak adalah manusia itu sendiri. Begitu juga sebaliknya.


Dan manusia, dalam perjalanan hidupnya, akan selalu dilingkupi dua hal yang saling berpasangan. Yakni; antara yang membahagiakan dan menyengsarakan, dalam berbagai wujud rupa keadaan. Terus begitu, dari lahir sampai mati. Namun, Allah Swt tetap memberikan petunjuk-petunjuk-Nya bagaimana seharusnya menjalani semua dengan selamat dan sampai berbahagia di surga-Nya. Juga diberikan contoh, teladan baik, yakni para Nabi dan Rasul. Lagi-lagi, kesemuanya pun bukan untuk Allah Swt. Tetapi, kemurahan-Nya agar manusia senantiasa berada di jalur yang benar bagaimana pun keadaannya.


Apa pun, pasti kembali ke diri kita. Jadi, baik-baiklah menjalani semua. Dan sesungguhnya, nikmatnya nikmat adalah segala hal yang mengantarkan diri semakin dekat tanpa hijab dengan-Nya. Sedang, adzabnya adzab adalah semakin menjauhnya diri dari-Nya. Inilah, ukuran sebagai pertimbangan langkah dalam beragam kondisi. Dengan demikian, masing-masing diri akan sibuk dengan dirinya sendiri. Yang menjadi fokus perhatian adalah memperbanyak amal sebagai bekal berbahagia di sisi-Nya kelak. Masing-masing akan dengan sungguh-sungguh menjaga diri, jangan sampai bermaksiat kepada Allah Swt dan jangan sampai bermaksiat terhadap semua ciptaan-Nya. Sehingga, mereka yang sudah berada di maqom demikian, siapa pun dan apa pun saja, akan merasakan damai penuh bahagia bersanding mesra dengannya.

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA