Jumat, H / 29 Maret 2024

Beratributkan Mutiara

Rabu 20 Sep 2023 17:38 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: orori


Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. As-Syam: 9-10).


Mengenakan atribut, sesungguhnya tidaklah sekadar gaya-gayaan, supaya terlihat wah, dan dibilang gimana gitu. Tetapi, ada tanggung jawab besar untuk turut menjaga nama baik dari sesuatu yang dikenal melalui atribut yang dikenakan itu.


Menjaga di sini, tentu lebih pada sikap, akhlak. Jika atribut bela diri misalnya yang dikenakan, ya jelas tidak untuk bisa bersikap semena-semena ketika sedang dimana-mana, tidak sok jagoan, nantangin semua, atau supaya semakin diakui sebagai seorang yang jago bela diri. Tidak begitu. Tetapi, sopan santun, baik dengan semua, guyub dengan sesama. Begitulah semestinya.


Dan, kenyataan yang terjadi sekarang ini, begitu banyak atribut yang dikenakan, justru seringkali sangat berkebalikan dari apa yang seharusnya ditunjukkan dari atribut itu. Hasilnya, tidak lebih hanya gaya-gayaan, mentang-mentang, bahkan cenderung merugikan banyak kehidupan. Sebuah atribut, tidak lagi menjadi tanda tingginya moral dan akhlak seseorang. Tetapi, lebih sering mirip pemanis, dimanfaatkan untuk mengelabui, semacam tameng atas ketidakbaikan diri.


Pada dasarnya, semua yang dinilai adalah akhlak, tingkah laku. Sama sekali bukan penampilan yang tertutupi atribut-atribut tadi. Jadi, kalau atributnya kurang bagus, tetapi akhlak dan tingkah laku seorang yang beratribut tadi sangat mulia, jelas akan mengangkat juga kehormatan dari sesuatu yang atributnya dikenakan tadi. Sebaliknya, sebaik apa pun atribut yang dikenakan, juga semulia apa pun sesuatu yang ditunjukkan dengan atribut tadi, jika kelakuan yang mengenakan atribut itu tidak baik, sama sekali tanpa akhlak, jelas ini merendahkan, otomatis menghina sesuatu yang atributnya dikenakan tadi.


Nah, agama yang sedemikian mulia pun, tidak jarang dijadikan selayaknya atribut tadi oleh sebagian orang. Dimanfaatkan hanya sebagai tempat persembunyian, menutupi ketidakbaikan diri, supaya diri nampak mulia di hadapan manusia. Hal ini pun pada akhirnya berdampak buruk pada citra agama itu sendiri. Agama tidak lagi dipandang sakral, tidak dinilai mulia, hanya sebab satu dua orang yang dengan beragam atribut agama yang dikenakan, tetapi akhlaknya sama sekali tidak mencerminkan kemuliaan ajaran agama tersebut. Dan saking tidak mulianya akhlak seorang yang mengenakan atribut agama tadi, sehingga menimbulkan ketakutan dan antipati atas agama tersebut.


Lebih jauh, atribut di sini tidak sebatas pakaian, sarung, peci, jubah, dan semacamnya. Komunitas, organisasi, agama atau yang sejenisnya. Tetapi, juga pangkat, derajat, gelar, dan segala rupa keduniaan ini, sesungguhnyalah adalah atribut yang disematkan Allah Swt untuk yang pantas. Jadi, haruslah semua itu dijaga dengan ketinggian akhlak dan besarnya tanggung jawab untuk menjaga. Lebih-lebih, manusia adalah wakil-Nya di muka bumi.


Jer lahir utusaning batin” adalah satu nasehat dalam masyarakat Jawa mengenai keselarasan antara batin dengan jasad yang tampak. Maksudnya, akhlak yang telah terbiasakan adalah perwujudan dari kondisi batin yang benar-benar “mapan”. Kesucian hati-lah yang akan memancarkan cahaya dalam kemuliaan akhlak. Dan ini yang tidak pernah bisa dibohongi oleh sebetapa pun indah dan mempesonanya atribut yang dikenakan. Biar pun wujud lahirnya baik, ditata sedemikian rupa, jika batinnya tidak “mapan”, bila hatinya keruh tiada kesucian, maka tetap saja diri akan tergelincir dan terbuka wujud yang asli. Begitu sebaliknya.


Dari itu, selain penuh semangat membesarkan kebaikan-kebaikan diri. Maka, juga harus diimbangi dengan kesenangan untuk membersihkan ketidakbaikan yang ada di dalam diri. Sebab, seringkali yang terjadi adalah banyak yang sangat senang memperbanyak kebaikan. Tetapi, di sisi yang lain, tidak peduli, tidak memiliki kesenangan untuk membersihkan diri dari ketidakbaikan yang ada. Hasilnya, ya percuma. Banyak kebaikan yang dibiasakan, misalnya. Tetapi masih hobi membincangkan dan membuka-buka aib sesama, masih gemar mencela dan merendahkan semua. Yang begini, akan merugi 'kan? Na'udzubillah.


Jadi, jangan sampai atributnya bagus, tetapi manusianya tidak baik sama sekali. Lebih cakep atributnya, dibanding orangnya. Jika begitu, ‘kan lebih baik atributnya biasa-biasa saja, asal orangnya bagusnya luar biasa. Semoga, kita semua dianugerahi kekuatan untuk bisa istiqamah menjaga kemuliaan di dalam hati dan di setiap tingkah laku diri.

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA TERKAIT

BERITA LAINNYA