Jumat, H / 29 Maret 2024

Hikmah Bolu Pisang dan Es Krim (1)

Senin 17 Feb 2020 09:09 WIB

Reporter :Redaksi

Ilustrasi

Foto: australias.guide

ESQNews.id, JAKARTA - "Ma, kakak ranking satu, mana janji mama mau beliin es krim," rengek Dika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja seperti biasa.


"Sabar ya, Nak, tunggu ibu gajian tanggal satu," janjiku, padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan habis menyicil hutang pengobatan ketika almarhum suami sakit dulu.


Dika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang mahal. Ah seandainya saja Dika ranking dua atau tak usahlah ranking sekalian, ia pasti tak sekecewa ini.


Keterpurukan hidupku bermulai ketika suami yang tiap hari bekerja sebagai buruh bangunan kecelakaan dan lumpuh. Tiap Minggu harus bolak balik kontrol ke rumah sakit, walau pakai BPJS namun kerepotan ini tetap membutuhkan biaya hingga hutang pun menumpuk.


Ketika suami akhirnya pergi selamanya, hutang-piutang pun berdatangan meminta haknya untuk dilunasi. Aku pasrah. Memohon kepada si pemberi hutang agar memberi kelonggaran dengan mencicil.


Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Dika, aku memiliki Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima pekerja rumah tangga yang membawa balita. Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.


Pada suatu hari ada pesan masuk, salah seorang wanita ingin memesan bolu pisang tanpa menggunakan gula. Memesan dua loyang, dan diantarkan habis dhuhur. Aku bersorak, Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan mengaktifkan WA-ku. Ada pesanan masuk.


Harga sebenarnya adalah 50.000 rupiah, namun pelanggan itu menawar menjadi 40.000 rupiah per loyang.


<more>


Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang belum terpakai jadi tak perlu beli ke pasar. Alhamdulillah aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang.

 

Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok. Setelah sholat Zuhur, jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja.

 

Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi 20.000.

 

Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin sebentar lagi yang memesan akan datang. Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang. Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum dibaca.

 

Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu jam menanti. Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan ikut meraung karena kepanasan. Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.

 

(Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia bilang berangkat habis Zuhur eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah otw ke kampung.)

 

Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini? Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja. Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air mata. Siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang alakadarnya? Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.

 

Sulungku berhenti merengek, ia langsung diam melihat air mataku. Lama ia menatapku iba. Kedua netranya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.

 

"Dika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis," Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan tangis.

 

"Kita pulang, Nak," ucapku. Dika mengangguk, si bungsu pun tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.

 

Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir dan kini seolah sia-sia. Ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat, belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah.

 

Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang telah nyata di depan mata. Aku baru saja memasuki halaman rumah kontrakan ketika Bu Tia tetanggaku kulihat telah menunggu.

 

"Eh, ibunya Dika, dicariin, untung cepat pulang," ucap tetangganya.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA