Jumat, H / 17 Oktober 2025

Mewaspadai Kenyamanan

Senin 18 Sep 2023 12:00 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: Ist

ESQNews.id - Ada sebuah kisah. Seorang tua renta yang gigih beribadah. Setiap terdengar kumandang adzan, ia bergegas melangkah ke masjid untuk shalat berjamaah. Sangat istiqamah. Hingga suatu saat, ia terjatuh di tengah jalan ketika hendak menuju masjid memenuhi seruan adzan. Ada bagian tubuhnya yang terluka. Sehingga, menjadikan iba para jamaah yang sudah hadir duluan. Melihat kejadian itu, lantas Rasulullah Saw mengabarkan kepada lelaki tua renta tersebut, bahwa sebab luka akibat jatuh ketika hendak shalat berjamaah itu telah menjadikan Allah Swt mengampuni separo dosanya selama hidup. Tersungkur sujud penuh syukurlah lelaki yang merasa sepanjang masa mudanya penuh dosa itu.


Esok harinya. Tanpa diketahui asal muasalnya, ada seorang yang dengan senang hati menuntun lelaki tua renta itu. Begitu seterusnya. Sehingga, setiap langkah perjalanan ke masjid menjadi semakin lancar. Dilakukan tanpa halangan sebagaimana dulu ia tertatih-tatih sendirian. Ada yang menggandeng, menopang tubuhnya di sepanjang jalan.


Begitu penasaran lelaki tua renta terhadap seorang yang selalu menolongnya. Didesaklah ia sampai mengaku. Dan ternyata, sang penolong itu mengaku dengan jujur bahwa dialah Iblis. Yang tujuan setiap kebaikan yang dilakukan tidak lain hanyalah agar lelaki tua renta itu tidak sampai terjatuh untuk kedua kalinya. Sebab, Iblis tidak ingin sisa dosa yang masih separo yang dimiliki lelaki tua renta tadi diampuni Allah Swt. Begitulah. Sampai sehalus itu, Iblis hendak menjadikan manusia tetap berlumur dosa. Apa pun cara dan bagaimana pun rupa pola iming-iming ketertarikan, akan senantiasa dipasang demi menjerat manusia, supaya tersungkur dalam ketersesatan yang menjerumuskan ke jurang neraka.


Demikian itulah sekilas gambaran hidup manusia di dunia. Sehingga, jangan heran jika ada seorang yang tidak baik, jauh dari ibadah kepada Allah Swt, lantas hidupnya begitu nikmat, serba berkecukupan, apa yang diinginkan segera terpenuhi. Sebab, begitulah proses diutuhkannya dosa-dosa untuk ditunda penyiksaannya hanya pada saat di neraka kelak. Dan sebaliknya, jika ada orang baik nan taat perintah Allah Swt, lantas kehidupannya sering tidak mengenakkan. Maka, sesungguhnya Allah Swt sedang memuluskan jalan untuknya ke surga. Setiap sakit yang diterima di dunia adalah tebusan-tebusan atas dosa. Sehingga kelak, terbebaslah dari neraka.

 

Dari kisah di atas pula, setiap diri harus betul-betul bisa mewaspadai setiap kenyamanan hidup yang diterima. Kewaspadaan ini, tidak lain adalah bentuk kerendahdirian dan ketidakberdayaan diri di hadapan Allah Swt. Merasa selalu tidak pantas atas setiap limpahan anugerah. Sebab, diri masih diliputi dosa dan cela. Sehingga, yang tinggal adalah senantiasa merasa bersalah, beristighfar memohon ampunan-Nya. Selain itu, jangan-jangan, semua adalah sebentuk istidraj dari Allah Swt. Sebab itu, segala bentuk kenyamanan dan kemapanan, sudah seharusnya menjadikan diri semakin rendah hati, sekaligus mengantarkan untuk senantiasa dekat dengan Allah Swt.


Kemudian, kewaspadaan terhadap setiap kenyamanan hidup juga sebagai upaya pengekangan diri, supaya tidak terjerumus pada sifat ujub dan takabur. Dua sifat ini, sulit sekali diidentifikasi. Hanya masing-masing diri yang tahu. Sebab, wujudnya bisa sangat kecil tumbuh di dalam hati. Dan, dosanya pun sangat besar. Ada sedikit saja di hati, menghalangi diri masuk ke surga-Nya. Na'udzubillah. "La yadkhulul jannah man kaana fii qolbihi mitsqoola dzarrotin min kibrin". ''Tidak akan masuk surga orang yang didalam hatinya ada sebiji dari sifat sombong''
(HR.Muslim)


Dengan demikian, apa pun yang dinikmati sebagai kenyamanan dan bagaimana pun keadaan yang terasa sebagai kemapanan, yang itu dirasa tidak bisa dinikmati oleh yang lain, maka jangan lantas menjadikan diri tinggi hati, tidak usah gemar memandang rendah yang lain, jangan hobi menghina dan merendahkan mereka. Berbagilah dengan yang kurang beruntung. Seandainya pun masih diberati oleh keadaan tidak ikhlas, tetaplah berbagi. Paksa. Dan nanti, pada saatnya, akan ikhlas-ikhlas sendiri. Jika berbagi ini pun belum bisa dijalani, ya diam, jangan sekali pun keluar kata-kata yang tidak mesra dari lisan kita. Itu lebih baik. Jika pun hati masih saja geli untuk mencaci maki, maka hadang di lisan, tutup dengan istighfar dan kalimat-kalimat thoyyibah lainnya.

Semoga Allah Swt mengampuni kita semua. Serta, senantiasa menjaga kita semua dari jalan-jalan yang tidak baik.

 

M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA