Oleh : M. Nurroziqi
Ketika kecil saya dulu, bermain layang-layang itu sangat seru. Sepulang sekolah, ambil layang-layang lengkap dengan benangnya, dan pergi ke sawah atau tanah lapang. Naikkan. Ada "tajon" dan "gilasan".
Keduanya adalah jenis kompetisi beradu layang-layang. Tepatnya, seberapa kuat benang saling bergesekan. Yang putus, layang-layang melayang, hilang, dan kadang dijadikan rebutan, itu yang kalah. "Tajon" adalah pertarungan jarak pendek, tidak terlampau tinggi layang-layang yang dinaikkan, para pemilik layang-layang juga berposisi saling berdekatan. Kalau "gilasan" jauh lebih tinggi dan antara pemilik layang-layang berjauhan, tidak saling tahu.
Nah, selain memang membutuhkan layang-layang yang stabil, di kedua kompetisi tadi membutuhkan benang yang kuat. Dulu, untuk menguatkan benang ini, dibutuhkan tumbukan kaca yang halus. Kemudian, dicampur dengan tepung jenis "pati", diberi air secukupnya, lalu direbus. Mirip dengan proses membuat bubur.
Baca Juga : Selalu Menemu Jalan Bahagia
Setelah adonan benar-benar mengental seperti bubur, maka benang akan dibalur dengan ramuan ini. Tunggu sampai kering. Baru bisa digunakan untuk beradu layang-layang. Tapi, seiring maraknya permainan ini, akhirnya semakin banyak toko-toko yang menjual senar atau benang gilas (khusus untuk "tajon" dan "gilasan") yang harganya lebih mahal dari senar atau benang biasa.
Bagi para petarung, alias peserta "tajon" atau "gilasan", harus piawai mengontrol layang-layangnya. Dan yang tidak kalah penting, mengerti betul kapan benang harus ditarik atau malah diulur. Sebab, inilah yang menjadikan terjadinya gesekan-gesekan untuk bisa memutuskan benang layang-layang lawan. Proses inilah yang seru. Sedang bagi para penonton, keseruannya adalah ketika berebut layang-layang kalah, yang sudah putus, yang sudah direlakan pemiliknya untuk berpindah tangan siapa pun yang mendapatkan.
Permainan ini, membangun sikap sportif. Yang menang biasa. Dan yang kalah, ikhlas. Namun, seiring perkembangan zaman, permainan ini pun sudah tidak diminati. Dan kini, berganti kompetisi keindahan layang-layang. Jika ada lomba layang-layang, maka yang diperlombakan adalah kreativitas peserta di dalam membuat layang-layang yang bagus dan unik. Dulu, ada istilah layangan kolet, buntutan, sowangan, kupu-kupu, dan lain-lain. Kini, makin kreatif dan semakin banyak lagi jenis layang-layang. Tentunya yang indah dan menghibur bagi yang memandang.
Baca Juga : Belajar Besar dari Semut Kecil
Perubahan permainan layang-layang ini, menandakan bahwa di dalam diri manusia ada jiwa lembut, terdapat rasa suka akan nuansa indah dan damai. Tanpa hiruk pikuk kekerasan dan saling menjatuhkan. Demikian pun dalam khazanah dunia persilatan, hal pertama yang musti ditempuh ketika menghadapi musuh adalah penyelamatan diri. Dari itu, di banyak gerakan silat, selalu yang diutamakan adalah gerakan-gerakan menghindar, "ales", menangkis, dan sejenisnya. Baru setelah itu, ada serangan balik. Melumpuhkan dan mengalahkan.
Dan proses mengalahkan di sini, sama sekali tidak tentang menghinakan lawan, tidak tentang berbalas dendam dengan kedhaliman yang lebih mengerikan. Akan tetapi, menempuh laku "menang tanpo ngasorake", tampil sebagai pemenang tanpa sedikit pun merendahkan lawan. Dengan jiwa lembut ini juga, ada "kembangan" yang menampilkan sisi-sisi indah dalam berkehidupan.
Nah, menjadi pemenang di sini, sejatinya juga bukan tentang keunggulan dan kehebatan diri itu sendiri yang lebih sering terselimuti emosi dan nafsu diri. Namun, tampil dari keberanian nan penuh kesabaran dalam menghindari serangan bertubi-tubi. "Ngalah" dan "Ngaleh". Lantas, menang atau kalah dalam perhitungan fisik, tetapi dalam jiwa dan kebesaran hati, martabat diri terjaga dengan kualitas paripurna. Tampil sebagai pemenang dalam kerendahhatian.
Baca Juga : Di Dunia, Serba Sesekali
Kemudian, sejatinya menjalani hidup di dunia ini pun tentang keselamatan diri itu tadi. Selebihnya, adalah mengenai posisi. Tentu saja, keduanya tidak hanya melulu soal dunia. Melainkan, kehidupan kelak yang lebih abadi. Di akhirat. Sehingga, yang sejatinya paling utama adalah keselamatan dan posisi diri di akhirat. Sebab, dunia hanya sarana bercocok tanam untuk kemudian dipanen di sana.
Dengan demikian, sangatlah keliru jika keselamatan dan posisi yang dikejar itu melulu hanya soal dunia. Apalagi, dilambari prilaku-prilaku yang keliru. Menempuh jalan-jalan salah hanya demi bisa tampil sebagai yang duduk di sebuah posisi yang prestisius. Saling jegal, saling mencari tumbal demi keselamatan diri dan kemapanan posisi di dunia. Sebagaimana tempat bercocok tanam, kelak pun bisa dipastikan akan jua menuai apa-apa yang sudah ditanamnya tadi.
"Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula." (Q.S. Al-Zalzalah: 6-8). Selesai pada ayat ini, hidup memang harus benar-benar dijalani penuh hati-hati. Tidak ada yang disakiti, tidak perlu ada yang didhalimi. Semua bergandengan tangan, saling menguatkan dalam bingkai indah persaudaraan.
*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]