Jumat, H / 31 Oktober 2025

Lelah Tapi Tak Kalah

Jumat 31 Oct 2025 10:22 WIB

Author :Hary Kuswanto

Ilustrasi

Foto: freepik

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Hari itu aku menatap meja kerjaku yang penuh tumpukan laporan. Jam di pojok kanan layar menunjukkan pukul 23.47. Kantor sudah sepi, hanya tersisa aku dan bunyi dengung AC yang terasa seperti ejekan. Tiba-tiba pesan WhatsApp masuk dari bossku.


"Besok pagi saya mau semua data sudah siap presentasi. Jangan ada alasan.”


Aku menatap layar lama, mencoba menahan napas. Antara ingin marah dan menangis. Timku sudah bekerja tanpa henti sejak seminggu lalu. Bahkan hari Minggu pun kami tetap lembur. Tapi seolah semua itu tak pernah cukup.


Aku sering bertanya dalam hati, “Apakah dedikasi harus selalu diukur dari berapa lama kita bertahan tanpa tidur?”


Di depan orang lain, beliau terlihat karismatik. Pandai berbicara, dihormati banyak orang. Tapi di balik pintu rapat, kami sering menjadi pelampiasan emosinya. Kritik disampaikan seperti peluru, tanpa jeda, tanpa empati.




Aku masih ingat suatu pagi ketika salah satu anggota timku, Rani, menangis setelah ditegur keras di depan semua orang.


“Aku cuma salah format tabel, tapi rasanya kayak seluruh kerjaanku gak ada artinya,” ucapnya sambil menghapus air mata.


Aku tak bisa berbuat banyak. Aku hanya menepuk pundaknya dan berkata, “Kita kuat, Ran. Kita tetap bisa jadi tim yang solid meski diuji seperti ini.”


Namun, di balik kata-kata itu, aku sendiri hampir runtuh.


Hari demi hari terasa berat. Aku mulai kehilangan arah, kehilangan makna bekerja. Sampai satu malam, ketika aku pulang lewat tengah malam, aku melihat sesuatu yang mengubah cara pandangku.


Bossku duduk sendirian di parkiran, menatap kosong ke arah mobilnya. Aku hampir tak mengenalinya, wajah yang biasanya dingin itu tampak lelah, matanya sayu.


Aku menghampirinya perlahan. “Pak, belum pulang?” tanyaku.


Beliau tersenyum kaku. “Belum, masih mikirin target triwulan depan. Boss besar udah tekan terus.”


Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi lain dari dirinya, manusia biasa yang juga tertekan.


Sejak malam itu, aku mulai menatap situasi dengan cara berbeda. Mungkin benar, beliau sering bersikap keras, tapi bukan karena benci. Mungkin karena ia sendiri tak tahu bagaimana cara lain untuk bertahan di tengah tekanan.


Aku mulai mengubah caraku memimpin tim. Alih-alih ikut menekan, aku memilih menguatkan. Kami tetap lembur, tetap dikejar target, tapi aku berusaha menciptakan ruang untuk saling menyemangati.


Sedikit candaan, sedikit apresiasi, sesederhana “terima kasih” dan ajaibnya, semangat tim mulai kembali.


Suatu pagi, setelah presentasi besar yang berjalan lancar, boss memanggilku.


“Kalian kerja bagus,” katanya singkat. Tapi bagi kami, itu lebih dari cukup.


Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Terima kasih, Pak. Kami cuma berusaha sebaik mungkin.”


Dalam perjalanan pulang hari itu, aku menangis diam-diam. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya aku mengerti. Kadang kemenangan bukan soal mengalahkan orang lain, tapi mengalahkan rasa lelah dan tetap memilih menjadi baik.


Kami semua lelah, tapi kami tidak kalah. Karena setiap tetes keringat dan luka hati mengajarkan kami satu hal bahwa kekuatan sejati bukan pada jabatan, tapi pada ketulusan untuk tetap berjuang tanpa kehilangan kemanusiaan.


Dalam dunia kerja, tekanan tak akan pernah hilang. Tapi kita bisa memilih, apakah kita akan ikut keras oleh situasi, atau tetap lembut dan tegar untuk bertumbuh. Kelelahan bukan tanda kelemahan, tapi bukti bahwa kita masih berjuang dengan hati.


Mari kita belajar untuk saling memahami. Mari kita sadari bahwa setiap orang di tempat kerja sedang berperang dengan tantangannya masing-masing.


Jangan saling menjatuhkan karena kita semua sedang berjalan di medan yang sama, hanya dengan cara yang berbeda.


"Kekuatan tidak datang dari kemenangan. Perjuanganmulah yang membangun kekuatanmu. Saat kamu melewati kesulitan dan tidak menyerah, itulah kekuatan sejati.” — Mahatma Gandhi


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA