Kamis, H / 27 November 2025

Kalender yang Tak Punya Minggu

Minggu 02 Nov 2025 21:34 WIB

Author :Hary Kuswanto

Ilustrasi

Foto: Dokumen Pribadi

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Aku masih ingat awal tahun itu, kami baru saja mendapat target yang nyaris mustahil. Timku di divisi proyek sedang dikejar tenggat, sementara jam kerja sudah tidak lagi mengenal waktu. Setiap hari serasa Senin, tidak ada Sabtu, apalagi Minggu.


Kami bercanda, “Kalender kantor kita kayaknya lupa dikasih hari libur, ya.”


Tapi di balik tawa itu, ada mata lelah yang mulai kehilangan cahaya.


Pak Ade, boss kami, adalah tipe pemimpin yang disiplin luar biasa. Ia datang lebih awal, pulang paling akhir. 


Tidak pernah absen, tidak pernah mengeluh. Tapi justru itu yang membuat kami takut, kami merasa tak boleh tampak lemah di hadapannya.


Suatu malam, hampir pukul sebelas, aku masih duduk di depan layar laptop. Ruangan hanya diterangi lampu putih yang mulai redup. Jari-jariku kaku, pikiranku kusut. Dan saat itu juga, aku melihat Rendi, rekan satu timku, menutup matanya sambil memegang dada.


Aku panik. Kami membawanya ke klinik terdekat. Dokter bilang, “Tekanannya tinggi, kurang istirahat. Ini bahaya kalau diteruskan.”


Esok paginya, aku melapor ke Pak Ade. Kupikir dia akan marah karena Rendi absen. Tapi justru sebaliknya. Wajahnya menegang, matanya menatap jauh ke arah jendela.


Ia berkata pelan, “Dulu saya juga pernah seperti dia.”


Suaranya bergetar. “Saya kehilangan seseorang karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Waktu itu saya pikir saya sedang berjuang untuk masa depan, tapi ternyata saya sedang menghancurkannya.”


Ruangan hening. Tak ada yang berani bersuara.

Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi manusiawi dari seorang boss yang selama ini kami anggap ‘mesin kerja’.


Hari itu, Pak Ade melakukan sesuatu yang tak pernah kami duga. Ia menutup laptopnya di jam lima sore, berdiri, dan berkata, "Kita pulang. Saya ingin kalian ingat satu hal, kerja keras itu penting, tapi hidup lebih penting.”


Kami semua terdiam. Rasanya seperti baru disadarkan dari mimpi panjang.


Beberapa minggu kemudian, suasana kantor berubah. Pak Ade mulai membuat kebijakan baru, tidak ada lembur di atas jam kerja, dan setiap Jumat sore dijadikan sesi santai tim. Ia menyebutnya, “mengembalikan minggu yang hilang.”


Awalnya kami canggung. Kami terbiasa dengan tekanan, bukan kehangatan. Tapi perlahan, kami menemukan irama baru, bekerja dengan tanggung jawab tanpa kehilangan jiwa.


Aku ingat satu momen di ruang pantry. Pak Ade berkata kepadaku, “Kamu tahu kenapa saya dulu keras sekali?”


Aku menggeleng.


“Karena saya takut gagal. Tapi sekarang saya sadar, yang lebih menakutkan dari kegagalan adalah kehilangan orang-orang yang berjuang bersama saya.”


Kata-katanya menancap dalam.


Ternyata, pemimpin pun bisa terluka. Dan kadang, mereka menutup lukanya dengan cara yang salah, menjadi terlalu keras, terlalu dingin, terlalu kaku.


Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Kami mulai bisa tertawa lagi, makan siang bersama tanpa terburu-buru, bahkan merayakan ulang tahun anggota tim yang dulu nyaris tidak pernah diperhatikan. Produktivitas kami meningkat, tapi kali ini tanpa tekanan.


Dan aku belajar sesuatu, kadang sebuah perubahan besar dimulai dari keberanian untuk berhenti sebentar dan menatap hati sendiri.


Kalender kantor kami sekarang punya minggu.

Bukan karena jadwal berubah, tapi karena kami akhirnya menemukan keseimbangan antara bekerja dan hidup.


Bekerja keras itu penting, tapi tidak boleh sampai kehilangan arah. Karena yang kita kejar bukan hanya hasil, tapi juga makna. Dan makna hanya bisa lahir dari hati yang tenang, bukan dari jiwa yang kelelahan.


Mari kita belajar menyeimbangkan ambisi dan istirahat. Kita boleh berlari, tapi jangan lupa berhenti untuk bernapas. Karena kita bukan hanya pekerja, kita manusia yang butuh waktu untuk hidup, mencinta, dan merasa.


“Tidak ada yang lebih menyedihkan dari kesuksesan yang dibayar dengan kehilangan kebahagiaan.” – Dalai Lama


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA