Rabu, H / 15 Mei 2024

Inner Journey di Training ESQ

Kamis 05 Mar 2020 15:45 WIB

Author :DR (HC) Ary Ginanjar Agustian

Dr. (HC) Ary Ginanjar Agustian di Training ESQ Executive (16/2/2020).

Foto: dok.ESQ

Oleh: Dr. (HC) Ary Ginanjar Agustian

ESQNews.id - Bottom line bisnis memiliki tiga acuan: financial, masyarakat, dan lingkungan. Dari filosofi ini muncul pemeringkatan seperti Indeks Tanggungjawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Menjelang akhir abad ke-20, dunia bisnis mengenal konteks berbasis Spiritual. Bisnis dijalankan untuk meraih kepuasan spiritual dan sebagai pelayanan yang tak mementingkan diri sendiri. Operasi bisnis digerakkan oleh suatu dorongan atau motivasi transendental yang mengacu pada Sumber Penciptaan.

Konteks berbasis spiritual, sebagaimana konteks-konteks sebelumnya, bukanlah fenomena eksklusif di tempat tertentu, melainkan hasil kecenderungan alamiah manusia untuk mencari tanpa henti perbaikan dalam hidupnya. Ia menjadi koreksi komplementer atas filosofi-filosofi sebelumnya. Maka, ukuran bottom line-nya juga tetap meliputi bottom line pada konteks sebelumnya, ditambah kemurnian (purity) serta bersatunya (unity) pemikiran, ucapan dan perbuatan.



Konteks atau filosofi ini muncul dari suatu proses pencarian jati diri, makna dan tujuan hakiki hidup para pemimpin bisnis. Mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang siapa diri mereka, hakekat dan makna hidup, serta ke mana mereka menuju. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mengantar mereka pada visi yang kuat, yang menjadi pedoman abadi bagi gerak bisnisnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu, dalam training ESQ, divisualisasikan sebagai sebuah "perjalanan" menjelajahi alam di dalam diri manusia (Inner Journey), perjalanan menyelami kekayaan dan kedahsyatan yang tak terkirakan. Kekayaan dan kedahsyatan itu perlu sentuhan agar menjadi padu dan aktif sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Pada hakekatnya, tugas hidup manusia adalah mewariskan dunia yang lebih baik.
<more>
Salah satu kedahsyatan itu adalah kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ). SQ merupakan temuan ilmiah yang pertama kali digagas Dan ahok Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. Mereka menuangkan hasil risetnya yang komprehensif dalam buku Spiritual Quotient, The Ultimate Intelligence (2000).

Sebelumnya, pada 1997, ahli saraf VS Ramachandran dan timnya dari California University menemukan eksistensi God Spot, sebagai pusat spiritual, yang terletak di antara jaringan saraf dan otak manusia.

Ahli saraf Austria, Wolf Singer,   juga menunjukkan ada proses saraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha menyatukan serta memberi makna dalam pengalaman hidup.

Temuan-temuan itu semestinya membuat kita tak lagi memandang secara dikotomistis hal-hal material dan yang non material; yang kasat mata dan tidak kasat mata; orientasi keduniaan dan  yang ilahiah. Dengan begitu, kita bisa memetik manfaat dari aktivitas ibadah tidak semata-mata untuk kepentingan hidup sesudah mati, melainkan juga untuk kesejahteraan hidup di dunia.

Pemandangan Integralistik itu bisa kita petik, misalnya, dari ibadah haji dalam Islam. Selain melakukan thawaf (berjalan pada garis orbit, patuh pada hukum); melontar jumrah (membersihkan belenggu, zero mind process); sa'i (bekerja, mencari rezeki); manusia juga harus melakukan wukuf (perenungan jati diri, makna dan tujuan hidup). Itulah kenapa tempat wukuf dalam ibadah haji dinamai Arafah (dari kata dasar 'a-ra-fa yang berarti mengerti, memahami, mengenal).

Doa,  sholat, yoga atau mediasi, sesungguhnya adalah bentuk aktivitas untuk menjernihkan pikiran (zero mind process). Proses itu akan mengasah kita, entah sebagai pemimpin bisnis, manager, staf atau pegawai, untuk selalu setia pada acuan bottom line yang sesungguhnya: suara hati atau kecerdasan spiritual. Dengan acuan itu, kita akan bisa memelihara profesionalisme yang murni, yang tak mudah goyah.



Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA