Minggu, H / 19 Oktober 2025

Takut Mengambil Risiko

Rabu 05 Jun 2019 13:12 WIB

Author :ESQ Media

Ilustrasi

Foto: Orang ketakutan mengambil resiko saat bisnis

ESQNews.id, JAKARTA - "Saya sudah lama sekali menunggu saat yang tepat memulai bisnis. Saya memiliki tabungan untuk modal, dan sudah mendapat gambaran beberapa bisnis yang ingin saya mulai. Tetapi saya belum berani juga. Kira-kira hal-hal apa lagi yang saya perlukan untuk memulai bisnis?" tanya M. Sayudi asal Surabaya.


Jawaban:  “Mimpi kemarin adalah kenyataan hari ini, dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari” (Imam Syahid Hassan Al Bana).


Sering kali kita dengar perkataan “Dia sudah hebat sekarang, punya lima toko, karyawan lebih dari 30 orang, omzet sekian milyar… padahal dulu… saya tahu betul dia bukan apa-apa.” Bukankah kita juga sering dengar cerita pengusaha-pengusaha sukses, yang sekarang sudah memiliki gedung sendiri, mobil mewah, perusahaan go public, ada yang mulai dari memikul tepung beras sendiri, jualan panci sendiri door to door, mengantar paket sendiri, berbecek-becek jualan kue ke pasar tradisional sendiri. Semuanya dilakukan sendiri, bersusah payah mempelajari bisnis sendiri dsb. Pasti, mereka mengakhiri dengan “ah... itu 10 tahun  lalu.”


Kisah lain yang menarik adalah kisah jatuh bangun perjalanan bisnis  pengusaha. Seorang pengusaha sukses dengan aset trilyunan rupiah menceritakan dalam sebuah wawancara bahwa ia pernah bangkrut sampai lima kali. Saat bangkrut yang terakhir, ia harus menjual seluruh rumah, mobil mewah, dan harta benda. Yang tersisa tinggal pakaian di badan.


Kisah ini memberi kita beberapa pelajaran:


Pertama, membangun usaha itu perlu perjuangan perlu ’jihad’ tersendiri. Mulai dari memilih, mempelajari, mengembangkan, dan mempertahankan, semuanya itu memerlukan proses dan waktu. Banyak orang melihat kesuksesan itu dalam kerangka jangka pendek saja, tanpa melihat “cerita di balik sukses”. Membangun usaha itu perlu stamina dan mental baja (motivasi). Ini barangkali bisa kita hubungkan dengan sukses menurut Islam, yaitu sukses dunia dan akhirat: sembilan dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga, ternyata berprofesi pedagang (pengusaha).


Kedua, membangun bisnis perlu pemahaman (knowledge). Perhatikanlah bagaimana pengusaha sukses memulai dengan berjualan sendiri, masuk pasar becek, menangkap ikan sendiri, hingga akhirnya setelah menjadi perusahaan besar, menjadi korporasi, bisa menyewa tenaga profesional, memberi arahan dari kantor ber-AC di tengah kota, dsb.


Ada kesalahan persepsi: orang melihat bisnis sebagai sesuatu yang sederhana, atau tepatnya menyederhanakan masalah. Sering kali saya dengar kawan-kawan berucap, “Kita kumpulkan modal dengan network kita, kemudian sewa kantor, sewa manajer, maka nanti kita tinggal men-direct saja. Kita bisa jadi direktur perusahaan, dan lapis kedua kita yang kerja.” Atau, “Paling kita kontrol sepekan sekali, jadi kita bisa ngajar.” Memulai bisnis dengan mental seperti ini, merupakan cara efektif untuk gagal.


Memulai bisnis harus berdasarkan pemahaman bidang usaha yang kita geluti. Pemahaman bidang usaha ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, dapat melalui sumber informasi: buku, majalah, dsb. Diskusi dengan ahlinya atau cara konvensional tapi paling efektif yaitu langsung terjun.


Ketiga, track record kita. Semakin lama menekuni suatu bidang bisnis, maka orang akan melihat kita sebagai pebisnis yang berpengalaman, dan kepercayaan orang akan meningkat. Ingat cerita pengusaha yang bangkrut sampai lima kali? Bisa bangkit sampai lima kali karena adanya network dan kepercayaan orang, dan kepercayaan itu bisa didapat dari karakter dan pengalaman.


Karena itulah, mulai dari sekarang, kita siapkan dan tempa mental kita memasuki dunia bisnis. Kita mulai “belajar” bidang usaha. Kita bangun track bisnis serta kredibilitas dalam dunia bisnis. Bisnis bukanlah semata-mata konsep, tapi motivasi, pemahaman, dan pengalaman.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA