*Singgih Wiryono
Fenomena baru di Korea Selatan, keluarga yang baru menikah lebih memilih membesarkan hewan peliharaan ketimbang memiliki anak.
Berita ini aneh, tapi nyata. Saya pertama kali membacanya mengernyitkan dahi, apa yang sebenarnya mereka pikirkan dalam pernikahan? Alasannya adalah biaya membesarkan anak yang dinilai terlampau tinggi, hingga pasangan-pasangan muda di Korea Selatan lebih memilih untuk membesarkan anjing, atau kucing.
Mereka membelikan baju, mengajak berkumpul ketika acara kumpul keluarga dan menguburkan layaknya manusia ketika peliharaan-peliharaan mereka mati. Fenomena ini bisa dikatakan sebagai trend baru, pergeseran sesuatu yang aneh di luar normal, dan diprediksi akan terus berlanjut menjadi normal yang baru di kemudian hari.
Kita bergeser ke Jepang. Salah seorang menteri di Jepang mengkritik perempuan Jepang yang enggan melahirkan anak, atau lebih tepatnya pasangan-pasangan muda di Jepang. Hal tersebut memberikan dampak penurunan perkembangan penduduk negeri matahari terbit tersebut.
Alih-alih pasangan ini mengangguk untuk memiliki anak. Mereka justru mendemo dan menuding menteri tersebut melukai hati perempuan Jepang yang tidak bisa memiliki anak. Hhhhmmmm.
Gerakan-gerakan arah baru yang dulunya tidak normal saat ini dianggap menjadi sesuatu yang normal kan. Lalu bagaimana di Indonesia? apakah perubahan seperti ini juga terjadi?
Tentu tidak se-ekstrim Korea Selatan dan Jepang. Karena Indonesia diselamatkan dengan satu kalimat mutiara yang berasal dari kepercayaan Agama, 'Banyak anak banyak rejeki'. Meskipun ini sering juga disalah artikan oleh mereka yang memaksa kehendak reproduksi yang banyak tanpa kecerdasan finansial (cara bersyukur) dan akhirnya terlahir generasi terbelakang dan banyak pula.
Fenomena New Normal terjadi di Indonesia dalam bentuk yang berbeda. Khususnya di kota besar seperti Jakarta. Semisal berbagai tudingan untuk perempuan yang tak menikah hingga kepala 3 sebagai perawan tua sudah tak berlaku di Jakarta.
Beberapa direksi di perusahaan misalnya. Wanita yang menduduki direksi dengan usia kepala empat yang belum menikah. Dan itu dianggap sebagai hal yang normal. Tapi yang ini masih di tataran kota besar.
Sedang yang menyeluruh adalah sesuatu yang sempat saya tak percaya juga. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini merubah berbagai hal yang dulu dianggap tak normal menjadi normal-normal saja. Pertanyaan tentang "Istrimu Kerja Apa?"
Tulisan "Istrimu Kerja Apa?" saya dapatkan dari adik tingkat saya semasa kuliah. Budaya di Indonesia, khususnya lumrahnya di pemeluk Islam, tanggungjawab mencari nafkah keluarga umumnya pada suami. Sekarang berbeda, sebelum menikah bukan hanya calon mempelai pria yang ditanyakan berkarir di mana dan dalam bidang apa, melainkan calon mempelai wanita juga harus berhadapan dengan pertanyaan itu.
Pengalaman salah seorang kawan juga demikian. Bagaimana pun sang suami berusaha banting tulang untuk mencukupi kebutuhan, di titik terendah akhirnya sang istri harus turun tangan, walaupun dengan online shop-nya.
Saya melihat ini hal baru, yang menjadi sebuah new normal yang kita rasakan sekarang. Kebiasaan baru yang akan lumrah dibicarakan di masa depan. Tentu ada berbagai faktor yang membuat ini menjadi lumrah. Dan ini sudah terjadi, bukan hanya di kota besar, melainkan sudah menyebar sampai ke pelosok pulau Lombok sana.
Tentu berbagai faktor penyebab akan kita bahas di lain waktu. Kita akan melanjutkan bahasan sudah sejauh mana new normal ini dirasakan di Indonesia?
Akui saja, setiap kita membuka kolom status di Whatsapp, bertebaran promo produk dari kawan-kawan perempuan kita. Bukan hanya mereka yang masih single, tapi juga yang sudah berkeluarga, anak satu, dua atau tiga.
Berjualan mulai dari jilbab, pulsa, makanan, kue, minuman dan berbagai produk. Banyak yang menganggap berjualan adalah cara paling aman untuk wanita yang sudah memiliki buah hati. Tapi apakah ini sebuah budaya yang wajar?
Wajar saja, jika saat ini menjadi ramai di jagad sosial media sebagai media promosi barang dagangan. Saya melihat sosmed saya seperti sebuah pasar raya, di mana teman-teman tampil PD dengan barang dagangannya. Bahkan maaf, ada yang menjual obat kuat.
Sadar atau tidak, wanita karir, atau wanita dengan penghasilan sendiri adalah sesuatu yang saat ini menjadi sebuah hal yang normal dalam masyarakat kita. Kapan itu kita rasakan? Saat ini, dan sudah menjadi kewajaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Mungkin 10 atau 15 tahun kedepan ketika ada seorang wanita yang hanya berdiam diri dan mengurus rumah saja, itu akan menjadi sesuatu yang tidak normal.
*Editorial ESQ Media