Kamis, H / 16 Oktober 2025

Ia yang Sima’an Al-Qur’an di Hadapan Sekumpulan Musuh

Selasa 17 Dec 2024 06:27 WIB

Author :Kontributor

Tangkapan Layar

Foto: Dokumen Pribadi

Oleh: Restu Ashari Putra


ESQNews.id, JAKARTA - Ada sebuah nama dari bintang-bintang bersinar di sekeliling Rasulullah Saw yang mesti kita kenal dan perkenalkan kepada khalayak lain, yaitu Abdullah bin Mas’ud. 


Abdullah bin Mas’ud adalah nama seorang sahabat mulia, yang engkau akan mengaguminya dan siapapun akan mengaguminya karena satu hal: Al-Qur’an!


Bukan cuma itu, tapi juga nyalinya membela Al-Qur’an.


Abdullah bin Mas’ud adalah orang keenam yang menyatakan diri beriman kepada baginda Nabi Muhammad Saw. 


Tatkala para sahabat, di masa-masa awal dakwah Nabi Saw belum ada yang berani tampil di depan para pembesar kafir Quraisy untuk menyatakan diri beriman.


Akan tetapi, Abdullah bin Mas’ud, seorang remaja yang dengan perawakannya kecil dan kurus, tidak memiliki pengaruh apapun, juga kekayaan yang bisa dibanggakan, dengan jantan maju ke hadapan para pemuka kafir Quraisy.


Lalu, ia dengan lantang mengucapkan: Bismillahirrahmanirrahim, Arrahmaan, Allamal qur’an… 


Ayat-ayat Al-Qur’an itu diperdengarkannya kepada mereka. Sesuatu yang paling dibenci oleh para pembesar kafir Quraisy.


Dan engkau tahu apa yang terjadi? 


Remuklah tubuh Abdullah bin Mas’ud yang ringkih itu dihajar oleh mereka yang mendengarkan ayat tersebut meskipun sempat terpesona dengan apa yang dilantunkannya.


Wajahnya berlumur darah, tubuhnya penuh memar. Hanya karena bacaan itu dianggap sama seperti yang disampaikan baginda Nabi Muhammad Saw.


Datanglah Abdullah bin Mas’ud kepada para sahabat dengan rupa yang babak belur itu.


"Saya akan kembali lagi besok (kepada pemuka Quraisy) dan melakukan hal yang sama,” ucapnya.


Kemudian para sahabat dengan penuh kecemasan berkata, “Inilah yang kami khawatirkan darimu wahai Ibnu Ummi Abdin (Abdullah bin Mas’ud)."


Apakah ia menyesal?


Ibnu Mas’ud tidak menyesal, “Sekarang tak ada yang lebih mudah bagiku selain dari menghadapi musuh-musuh Allah itu!” 


Bayangkan, jikalau pukulan musuh itu saja menjadi suatu hal yang paling remeh baginya, maka hal apa lagi yang terasa sulit?


Inilah nyali. Sesuatu yang tidak lahir dari hidup yang mudah. Tapi berat dan penuh risiko. 


Selanjutnya sejarah mencatat, bukan sekadar keberanian yang dimiliki Abdullah bin Mas’ud. Ia adalah rujukan bagi segala sesuatu yang berkaitan dengan Al-Qur’an. 


Al-Quran telah melekat dengan dirinya, mengalir dalam darah dan dagingnya.


Kemantapan dirinya terhadap Al-Qur’an bahkan telah diuji ketika ayat-ayat itu disimakkan bukan di hadapan majelis para sahabat, atau halaqah-halaqah talaqi’, akan tetapi di hadapan kumpulan musuh!


Dialah sang pionir yang memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa gemetar, tanpa keraguan, di hadapan barisan orang-orang yang paling akan menentangnya.



Engkau tahu, sebelum ia beriman, Abdullah bin Mas’ud bahkan harus berjalan jingjit di hadapan mereka.


Ia menggembalakan kambing-kambing milik salah satu di antara mereka. Semua itu menjadi tidak ada artinya apa-apa dibanding karunia keimanan setelahnya.


Maka tak heran ketika baginda Rasulullah Saw mengatakan di hadapan dirinya, “Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!”


Kau tahu, Rasulullah Saw adalah tempat di mana Al-Quran diturunkan. Namun dalam satu waktu Rasul justru ingin mendengarkan bacaan Al-Quran dari seorang Abdullah bin Mas’ud.


Maka tak heran Rasulullah Saw mewasiatkan kepada para sahabat, “Barangsiapa yang ingin mendengarkan Al-Qur’an persis sebagaimana ia diturunkan, hendaklah ia mendengarkannya dari Ibnu Ummi Abdin (Abdullah bin Mas’ud).


Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an tepat sebagaimana ia diturunkan, maka hendaklah membaca seperti bacaan Ibnu Ummi Abdin.”


Ia adalah di antara yang diberi keleluasaan untuk bisa terus berada di dekat Rasulullah, keluar masuk kediamannya, sehingga banyak hikmah ilmu yang diambilnya.


Tersebab kedekatannya dengan Nabi Saw inilah sejarah menakdirkannya menjadi orang yang paling faqih atau ahli hukum, dan ia adalah tulang punggung dari para huffadzh Al-Qur’an.


Maka tidak berlebihan ketika beliau dengan percaya dirinya mengucapkan hal tentang keadaannya, dan memang tak seorang pun dapat membantahnya. 


“Aku telah menampung 70 surat Al-Qur’an yang kudengar langsung dari Rasulullah Saw, tiada seorang pun yang menyaingiku dalam hal ini….” 


“Tidak ada satupun dari Al-Quran yang diturunkan melainkan aku tahu di mana diturunkan. Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang diturunkan kecuali aku mengetahui kepada siapa diturunkan.


Seandainya aku tahu ada orang yang lebih mengetahui Al-Quran selain diriku, sedangkan untaku mampu menjangkaunya, niscaya akan kukendarai untuk menemuinya.”


Kehausan beliau terhadap ilmu, kemantapan imannya dalam memegang Al-Qu’an, dan tentu keberaniannya dalam membela Al-Qur’an tidak ada yang meragukannya.


Dialah yang paling dipercaya oleh Rasulullah Saw dalam hal ini. Seseorang yang telah menjadi pengikut setianya sejak pertama kali risalah nubuwwah itu diturunkan. 


Dan seseorang yang tiap kali membaca firman Allah Swt, وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًۭا maka dia berdoa, “Allahumma zidni ‘ilman wa imanan wa yaqinan.”


Begitulah jalan sejarah yang terjadi. Seseorang yang dengan perawakan kecil, tak berharta, apalagi pengaruh tahta, tapi dimuliakan oleh Al-Quran dan keberanian. 


<more>


Kalau engkau mengenal Abdullah bin Mas’ud, maka engkau juga harus mengenal siapa sang istri pendampingnya. Dialah Zainab Ats-Tsaqofiyyah.


Ya, dia adalah istri dari Abdullah bin Mas’ud. Ada persitiwa menarik yang bisa menggambarkan bagaimana hubungan keduanya ini, bahkan kita bisa mengambil teladan dan hikmah yang banyak dari keduanya yang diridhai Allah Swt.


Diriwayatkan suatu ketika Rasulullah Saw bersabda, “Wahai kamu wanita, bersedekahlah kalian walaupun dari perhiasanmu.”


Zainab lantas pulang menemui suaminya, Abdullah bin Mas’ud, dan berkata dengan penuh hormat, “Innaka rojulun khofiifu dzatil yad,” (Sesungguhnya engkau ini adalah seorang yang tidak mampu). Sementara Rasulullah menyuruh kami untuk bersedekah.


Coba kau temui beliau dan tanyakan bolehkah saya bersedekah kepadamu. Jika tidak boleh, maka saya akan memberikannya kepada orang lain.”


Ibnu Mas’ud merespon saran istrinya tersebut, “Kau sendiri sajalah yang datang kepada Rasulullah,”


Singkat cerita, akhirnya Zainab mendapat jawaban dari Nabi Saw setelah mendapat penjelasan bahwa nafkah kepada keluarga termasuk suami sama seperti sedekah.


“Engkau mendapat dua pahala, yaitu pahala (membantu) kerabat, dan pahala sedekah.”


Saking risaunya dengan amal shalih berupa sedekah, sedangkan selama itu Zainab dengan kemampuannya secara ekonomi disibukkan dengan menafkahi keluarga, akhirnya kegelisahan itulah yang kini bisa menjadi hikmah ilmu bagi kita.


Dalam riwayat yang lain seperti diriwayatkan Bukhari, Zainab mengungkapkan kegelisahannya itu kepada Nabi Saw seperti ini,


“Sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang memiliki keahlian dalam bidang kerajinan tangan, lalu aku menjual hasilnya. Sedangkan aku, anakku, dan suamiku tidak memiliki apapun.


Sementara mereka selalu menyibukkanku sehingga aku tidak dapat bersedekah. Apakah aku akan mendapatkan pahala dari memberi nafkah kepada mereka?”


Maka Rasulullah Saw bersabda, “Engkau akan mendapatkan pahala dari hal tersebut selama engkau menafkahi mereka. Maka berikanlah nafkah untuk mereka.”


Ya robbana…. Coba kau baca sekali lagi riwayat istri Abdullah bin Mas’ud itu. Di mana letak kemuliaan itu sesungguhnya.


Janganlah kita tertipu dengan apa yang tampak dari dunia ini. Kita telah tahu kemuliaan Abdullah bin Mas’ud, bukan? Dan engkau juga tahu seperti apa kedudukan istrinya, Zainab Ats-Tsaqofiyyah.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA