ESQNews.id, JAKARTA - Memang manusia lahir memiliki sifat sifat baik dan buruk. Akhlaq baik merupakan upaya individual untuk mensucikan jiwanya yang tercermin dalam perilaku untuk diri sendiri, sosial dan pada Sang Pencipta.
Sebaliknya merugi seseorang jika sifat yang baik dikotori, dibiasakan untuk marasa menguntungkan diri sendiri.
Dalam teori ekonomi, asumsi sebuah pasangan dalam rumah tangga adalah memegang prinsip harmonism, tidak egoistis, tidak selfish bahkan harus terbiasa kompromi dalam mengambil keputusan. Tidak terkecuali dalam alokasi sumberdaya dalam rumah tangga.
Cukup banyak ekonom yang lahirkan teori strategy alokasi sumberdaya "reseources allocation strategies" semisal Theodore W Schultz di tahun 1980 an.
Bagaimana perilaku yang terbangun dalam diri orang tua akan mempengaruhi terhadap kehidupan keluarga, dan berdampak kepada anak dan keturunan kelak.
Intervensi Terkuras
Begitu ilmu pengetahuan digunakan untuk memperbaiki kehidupan keluarga, maka sering terlupakan bahwa intervensi pembangunan manusia yang dilakukan pemerintah belum menyentuh akar masalah.
Katakan anak-anak yang dilahirkan memerlukan investasi agar mereka semakin memperoleh hak gizi yang baik, memiliki kesempatan proses belajar yang baik, dan hidup dalam lingkungan rumah yang serba kecukupan.
Target-target pembangunan agar mencapai pembangunan berkelanjutan belum banyak menyentuh rasionalitas rumah tangga.
Banyak rasionalitas rumah tangga yang cenderung tidak rasional dan terpelihara dari waktu ke waktu.
Sifat malas, suka berhutang, kebiasaan merokok, hobi konsumtif, apalagi munculnya teknologi digital yang menambah sumber pembiayaan.
Semula kebutuhan pokok adalah pangan, sandang dan papan, maka dengan munculnya pembiasaan irrasional itu, maka keperluan merokok lebih penting dari pemenuhan pangan dan pendidikan, karena dalam kondisi perlu pengeluaran untuk membeli sepeda motor dan komunikasi, maka sering dilakukan dengan berhutang.
Akibatnya sumber pendanaan yang ada terkuras untuk memenuhi kebiasaan yang irrasional.
<more>
Akhlaq dalam arti irrasional menjadi dekomposisi negative dari segala upaya positive perbaikan kehidupan.
Kenapa stunting masih sulit diturunkan Indonesia? Karena irrasional tindakan dan kebiasaan orang tua (merokok, berhutang, judi, hoby consumtive dsb.). Dimana alokasi dana pindah untuk memenuhi hasrat individualis orang tua.
Kenapa kemiskinan sulit diturunkan? Karena akhlaq irrasional orang tua (merokok, malas kerja, berhutang, berjudi dsb.). Perokok yang paling banyak adalah orang miskin.
Kenapa kebodohan sulit diperbaiki? Karena akhlaq orang tua yang terlanjur memiliki kebiasaan merokok dan behutang akibatnya sumberdaya telah terkuras untuk keperluan keperluan yang tidak penting.
Upaya negara selama ini melalui berbagai program intervensi belum menyentuh akar masalah. Katakan upaya melalui bantuan pangan, raskin, "cash transfers", beasiswa, kegiatan literasi di Posyandu. Semua kegiatan itu positive untuk perbaikan proses investasi anak.
Namun akhlaq buruk orang tua telah meniadakan proses investasi untuk anak terpenuhi. Sehingga efek dekomposisi dampak intervensi pemerintah menjadi relative kecil jadinya.
Ke depan
Upaya untuk memperbaiki kehidupan bangsa juga mesti diarahkan pada perbaikan perilaku positive orang tua, termasuk rasa tanggung jawab, rasional dan bijak dalam mengalokasikan sumberdaya dalam rumah tangga.
Kampanye literasi untuk ini perlu diintensifkan. Sebuah cara yang dilakukan oleh Walikota Solok Sumatra Barat di antaranya adalah menyediakan beasiswa pada anak sebesar Rp 1.5 juta jika anak mau membujuk orang tua tidak merokok.
Berhasilnya penurunan stunting di China karena pelayanan langsung ke rumah rumah dengan target perbaikan perilaku sanitasi dan ekonomi rumah tangga melalui "bearfoot" programnya.
Banyak hasil intervensi lewat perbaikan tingkah laku rumah tangga berbuah pada perbaikan dari proses investasi terhadap anak. Ke sana arah perbaikan kehidupan agar semakin efective menuju Indonesia Emas.
