Oleh Ahmad Meilani
ESQNews.id, JAKARTA - Pagi yang cerah di bulan penuh berkah di kampung tepian belantara yang cerah beberapa waktu yang lalu. Mentari pagi dari sejak dahulu kala menggugah manusia-manusia gagah untuk terus bergerak melangkah sebagai bukti syukur atas anugerah Rabb kita Allah ta’ala yang maha pemurah, dzat yang tiada henti memberi anugerah melimpah, pagi itu, sampai sekarang pun kembali menyapa, memberi kehangatan untuk mengambil hikmah kehidupan; hikmah yang merupakan barang hilang umat ini yang sedang ada pada tengah-tengah umat lain sebagiannya. Padahal kitalah yang paling berhak atasnya. Salah satunya adalah budaya ilmu, yang poinnya pada budaya MEMBACA; budaya IQRO.
Di antara kenikmatan yang yang tak tergantikan oleh selainnya adalah nikmat Allah ta’ala berupa kesabaran sejenak bertahan membersamai sebuah bacaan dengan dua pasang mata yang setia membaca. Selalu kita ingat dan mafhum jika terucap kata IQRO, itu adalah kalam risalah langit pertama yang sampai ke dunia menyapa Nabi kita Al Musthafa Shollallohu’alaihi wasallam yang dibawa sang duta pembawa wahyu untuk para rasul dan anbiya ‘alaihimmussalaam dari Rabb alam semesta untuk menjadi cahaya penerang manusia di dunia.
IQRO, sebuah kata yang membuat suatu bangsa yang sama sekali dipandang sebelah mata, atau bahkan ia seakan tak pernah ada menjadi bangsa adidaya dan tetap mulia tinggi mengangkasa.
Siapa menganggap eksistensi bangsa Arab sebagai bagian dari sebuah bangsa yang tinggal di dunia? “Wujuduhu ka’adamihi”, proverb Arab bilang begitu. Tapi itu dulu, sebelum Al Musthafa Muhammad Shollallohu’alaihiwasallam resmi menjadi bagian dari pembawa risalah langit seperti kakeknya Ibrahim dan para nabi dan rasul sebelumnya. Sebelum beliau menjadi khootamul anbiya wal mursaliin, bangsa Arab hanya bangsa yang tak ubahnya pasir di gurun membentang luas, hanya ada tapi tak terlalu diperbincangkan sebagai sesuatu yang dirasa begitu bermakna. Di antara mereka ada dua digdaya dunia yang kala itu begitu menentukan arah dan warna peradaban dunia. Ada Persia di timur, dan ada Romawi di barat. Kalau di zaman ‘now’ bisa dibilang ibarat Rusia dan USA. Mungkin juga bisa ditambah dengan aktor baru yaitu China yang sering kali membuat geram dunia, tak terkecuali Eropa yang mulai tersaingi dari hari ke hari.
Sekali lagi itu dulu, sebelum cahaya wahyu yang dibawa oleh Al Musthafa tersebar di Makkah, kemudian ke Habasyah, lalu berlanjut ke Yastrib yang selanjutnya berganti menjadi Madinah. Kemudian berlanjut mencuat merambah seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. Risalah yang membawa misi untuk memerdekakan manusia dari menghamba pada hamba untuk menghamba pada Rabbnya para hamba dan seluruh alam semesta. Risalah khusus yang membawa misi rahmatan lil’aalamiin.
Sebuah tonggak bermula dari tahun pertama masa ke-nabian, di tempat yang sangat sederhana, dengan di awali satu kata yang berefek pada dunia di fase-fase setelahnya. Itulah kata IQRO; BACALAH. Bukan kata pendek sederhana tak bermakna, tapi dialah tonggak kebesaran dan ketinggian peradaban yang diperhitungkan dunia sejak kata itu mencuat dari sebuah goa sederhana di perbukitan Makkah. Ia tidak bermula dari sebuah istana megah tempat para raja berkuasa, ia bermula dari sebuah ruang sempit yang tak begitu nyaman untuk di tinggalai. Begitulah tabiat sejarah bermula.
Tabiat setiap manusia ingin menjadi maju, orang barat bilang,’’Everyone wants to move ahead in life’’ tak ada bangsa yang ingin menjadi hamba, walau pun ada sebagian kelompok manusia yang menunjukan seolah ia ingin menjadi hamba untuk bangsa yang lain, itu pun tak terungkap dalam kata-kata, tapi nampak dalam realita. Salah satu contohnya adalah bangsa yang tak minat membaca, bangsa yang ‘enggan’ berpengetahuan. Bangsa yang ‘bangga’ dengan kelemahan yang berimplikasi pada kebodohan. Bangsa yang ‘legowo’, kata orang Jawa, nerima apa adanya aja, parahnya ada di antara mereka yang tak jarang mengatasnamakan agama yang menjunjung tinggi kemajuan dan pondasinya yaitu ilmu pengetahuan.
Saat disebutkan kata ilmu pengetahuan, ada yang berpandangan sempit, menyempitkan makna yang sebenarnya luas cakupannya. Ketika disebut kalimat ilmu pengetahuan, yang tergambar dalam benak mereka yaitu apa yang sering disebut sains yang sedang digandrungi. Padahal makna ilmu pengetahuan sangat meluas makna cakupannya. Kecuali bila dipersempit dengan tambahan suatu makna yang mengikatnya menjadi sebuah definisi khusus dan terbatas pada lingkup tertentu. Misal ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan dan seterusnya yang hanya terikat pada bidang tertentu saja. Maka tak heran jika disebut istilah ilmu pengetahuan, bagi mereka berarti ilmu aqidah, adab akhlakul karimah misalnya tak ada korelasinya sama sekali dengan ilmu-ilmu yang dibatasi bidangnya itu. Padahal ilmu pengetahhuan sangat universal, pengetahuan empiris ataupun pengetahuan yang bersifat believe tentang aqidah dan keimanan.
<more>
Kembali pada makna kata yang ringan di lisan saat terucap, namun efeknya mampu mengguncang dunia dan membuat para adikuasa dunia terperangah dibuatnya. Buktinya bangsa Arab yang dahulu merana tak dikenal dunia, keberadaanya tak melengkapi kebanggaan Romawi dan Persia. Adanya seakan tak ada, walau sejatinya ia tetapi ada tertera dalam peta dan eksis dalam realita. Tapi begitulah, kita tak selalu dinilai berdasarkan pada wujud fisik saja, tapi nilai makna yang membuat sesuatu berharga dan diakui eksistensinya.
Berbicara tentang IQRO, risalah pertama umat Al Musthafa, berarti kita berbicara tentang kata pastinya, tidak mungkin tidak. "Kekuatan kata terutama dibentuk oleh muatan pikiran yang dikandungnya serta kadar emosi yang menyertai kata itu, saat ia lepas dari mulut atau pena” begitulah ungkap H. Anis Matta, tokoh politik muslim muda negeri kita yang tak ubahnya pujangga Tangguh saat berkata-kata. Tapi kata beliau pula, ternyata muatan pikiran yang kuat saja tidak cukup. Rupanya butuh pada faktor lain yang mampu memberikan kekuasaan pengaruh kepada kata. Yaitu kekuatan keyakinan yang dirasakan seseorang terhadap pikiran-pikirannya, semacam emosi yang memberikan gelora pada pikiran-pikiran itu yang membuatnya bagai api yang membara atau gelombang yang membadai. Itulah rupanya yang membuat setiap jiwa yang berdiri di hadapannya terpesona dan semua akal yang menantangnya tertunduk oleh kuasa logikanya.
Itulah nampaknya makna dari sebuah ungkapan penuh hikmah dari salah seorang ulama terkemuka dari anak benua India, Sayyid Abul Hasan Ali al Hasani An Nadwi rohimahulloh kala berkata, "KATA ADALAH SEPOTONG HATI”. Begitulah para aktor sejarah yang namanya dicatat dengan tinta emas dan mengabadi dibaca dan dimaknai oleh banyak generasi. Para pelaku sejarah yang memenuhi lembaran sejarah umat manusia dalam memaknai kata. Pemaknaan seperti itu sangat kental terdapat pada para ulama, pemikir, penulis, operator ulung maupun para peminpin informal yang seluruh atau sebagian pengaruhnya terlahir dari kuatnya pengaruh keperibadiannya yang memang mempesona.
Kata Bung Karno: “JASMERAH, jangan sekali-kali lupakan sejarah”. Dari sejarah kita belajar, memaknai kata-kata yang kita rawat perbendaharaannya sejak balita. Di pagi buta hari ke 21 ramadhan 1441 atau bertepatan 14 Mei 2020 hari Kamis ini, jari jemari, dua pasang mata dan pikiran serta fisik yang sedang berlatih dengan puasa dengan harapan akan menjadi alumni Ramadhan yang membawa predikat TAQWA ini berusaha untuk menyiram ‘sepotong hati’ yang belum berjodoh dengan ruhnya karena proses pembentukan kepribadian yang masih terus berlanjut dalam perjalanan menuju kematangan. Langkah awalnya dimulai dengan bersabar dalam membersamai apa yang bisa dibaca dan bermanfaat kala usai membacanya.
Di antara kenikmatan terbesar yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba adalah nikmat bersabar dalam membaca. Sehingga semakin hari setiap kata yang terlahir dari pena atau mulutnya senantiasa bermakna dan ada ruhnya yang membawa spektrum positif pada apa saja yang ada disekitarnya.
Semoga Allah ta’ala memuliakan umat ini dengan kembalinya mereka pada apa yang mencerahkan generasi pertama, kedua dan selanjutnya yaitu risalah IQRO; MEMBACALAH.