ESQNews.id, JAKARTA – Pada awal pekan ini, pemerintah berhasil menambah lima produk yang masuk dalam fasilitas sistem tarif preferensial umum atau Generalized System of Preference (GSP). Yaitu plywood bambu laminasi; plywood kayu tipis kurang dari 66 mm; bawang bombai kering; sirup gula, madu buatan, dan karamel; serta barang rotan khusus untuk kerajinan tangan.
Namun ada satu produk yang dicabut dari fasilitas ini yaitu asam stearat karena nilai ekspornya telah melebihi batas ketentuan kompetitif (competitive needs limitations/CNL). Indonesia baru memanfaatkan 836 produk dari total 3.572 produk yang mendapatkan fasilitas GSP dari Amerika Serikat (AS), ujar pejabat Kementerian Perdagangan, Rabu (30/10/2019).
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo mengatakan pemerintah berharap semakin banyak pengusaha mengekspor produk-produk yang masuk dalam skema GSP ini. “Pemerintah berharap fasilitas GSP ini bisa dimanfaatkan dengan maksimal,” ujar dia dalam siaran persnya dilansir dari Anadolu Agency.
<more>
Menurut data dari Kementerian Perdagangan pada 2018, ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP sebanyak USD2,13 miliar dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar USD18,4 miliar. Produk utamanya adalah ban mobil senilai USD 138 juta, kalung emas (USD 126,6 juta), asam lemak (USD 102,3 juta), tas tangan berbahan kulit (USD 4,8 juta), dan aksesori perhiasan (USD 69 juta).
GSP merupakan program pembebasan tarif bea masuk ke pasar AS. Kini pemerintah AS memberikan fasilitas GSP kepada 121 negara dengan total 5.062 pos tarif 8-digit.Program ini bertujuan membantu produsen AS mendapatkan produk yang dibutuhkan untuk produksi mereka. Pada saat yang sama, pemberian program ini sekaligus mendorong ekspor negara-negara berkembang ke pasar AS.
Pada periode Januari-Desember 2018, Indonesia menghemat sebanyak USD101,8 juta melalui pemanfaatan GSP. Jumlah penghematan ini meningkat sebesar USD 23 juta atau 29 persen dibandingkan tahun 2017 yang tercatat sebesar USD 78,8 juta.
Peluang besar
Indonesia sebenarnya sempat terancam kehilangan fasilitas ini karena isu hak kekayaan intelektual dan hambatan perdagangan serta investasi. Indonesia menganggap fasilitas GSP merupakan salah satu isu prioritas dalam hubungan dagang dengan AS.
“Pemanfaatan skema ini membuka peluang yang sangat besar bagi peningkatan ekspor Indonesia ke AS,” ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto. Berbeda dengan Indonesia, Thailand malah kehilangan fasilitas GSP ini. Pemerintah AS mengumumkan pada Jumat pekan lalu fasilitas GSP pada Thailand akan ditangguhkan mulai 25 April tahun depan.
Dengan demikian, ada total 573 jenis barang yang akan menghadapi tarif impor sebesar 4,5 persen dan kehilangan fasilitas bebas bea sebesar USD1,3 miliar dari kuota USD1,8 miliar. Thailand pada 2018 menikmati surplus perdagangan USD19,4 miliar, sedangkan Indonesia sebesar USD12,6 miliar.