Di antara Anda mungkin ada yang dapat
mengidentifikasi berdasarkan beberapa statement di atas, tapi tidak bagi yang
lain. Banyak orang dapat mengidentifikasi imposter feeling dalam
beberapa situasi dan tidak pada situasi lain. Atau mungkin Anda tidak dapat
mengidentifikasi perasaan-perasaan ini, tapi teman Anda dapat mengetahuinya.
Siapa yang mungkin terkena Imposter Syndrome?
Imposter Syndrome biasanya dialami
orang yang memiliki pencapaian dan kesuksesan yang tinggi. Hal ini
membuat imposter syndrome berbeda dengan konsep “rendah diri”.
Dalam imposter syndrome terdapat ketidaksesuaian antara
kesuksesan aktual dan perasaan yang bersangkutan tentang kesuksesan tersebut.
Orang dalam berbagai profesi dan berbagai jenjang karier dapat menderita gejala
ini. Mereka bisa saja seorang guru, eksekutif, ahli hukum, programmer,
engineer, arsitek, artis, dan lain-lain yang mungkin terkena imposter
syndrome. Awalnya gejala ini dianggap hanya diderita para perempuan. Namun
penelitian terakhir menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita gejala ini
memiliki jumlah yang hampir sama.
Apa yang menjadi penyebab imposter
syndrome? Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa sikap, kepercayaan, pesan
langsung atau tidak langsung yang diterima dari orang tua dan orang yang
berperan penting di awal kehidupan memiliki kontribusi pada munculnya imposter
syndrome. Situasi dan dinamika keluarga tertentu cenderung berkontribusi
pada perasaan imposter, misalnya ketika aspirasi karir dan sukses menimbulkan
konflik dengan harapan keluarga. Biasanya munculnya gejala ini berasal dari
keluarga yang memiliki standar yang tidak realistis, keluarga yang sangat
kritis, dan keluarga yang penuh dengan gelombang konflik dan kemarahan.
Beberapa peneliti mengidentifikasi dua hal dalam keluarga yang dapat memberikan kontribusi pada imposter syndrome, yaitu:
- Family labels
Seorang anak yang berbeda dalam keluarga mungkin diidentifikasi dan dilabelkan secara berbeda. Sebagai contoh keluarga yang memiliki seorang anak yang cerdas dan seorang anak sensitif. Ketika mereka tumbuh besar, sekian lama keluarga itu tidak mengubah persepsi mereka. Kedua anak itu meski sudah besar dianggap sama seperti pada saat mereka masih kecil, tak peduli apa terjadi selama mereka tumbuh. Walaupun anak yang sensitif mendapatkan peringkat di sekolah yang lebih baik atau mendapat lebih banyak penghargaan, tetap dianggap sebagai anak sensitif. Keberhasilannya dianggap bukan karena kecerdasnnya. Hal ini menimbulkan keraguan sang anak akan intelegensinya, karena kontradiksi dengan lebel yang selama ini disandangnya.