ESQNews.id - "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 8).
Seberapa adilkah kita?
Dalam banyak kenyataan di kehidupan sekarang, adil menjadi sesuatu yang sangat langka. Yang paling sederhana, ketika melihat orang lain bersalah, justru diri ini bersikeras supaya keadilan ditegakkan setegak-tegaknya. Tanpa ampun. Bahkan, kerapkali tanpa memandang latar belakang dan motivasi yang mendorong terjadinya sebuah kesalahan. Begitu salah, dihukum. Tetapi, di sisi yang lain, ketika diri sendiri yang bersalah, banyak sekali alasan, pembelaan, bahkan mati-matian berusaha supaya kesalahan yang sudah diperbuat bisa dimaafkan. Atau paling tidak, diringankan dengan seringan-ringan hukuman. Demikian inilah, nafsu manusia.
Memang, menjadi adil itu sesuatu yang tidak mudah. Berat sekali. Bahkan, ketika sedang mengamalkan ayat-ayat Al-Qur'an atau sunnah Rasulullah Saw, kecenderungan ketidak adilan semakin nampak dewasa ini. Tidak sekadar memegangi ayat dan sunnah yang sesuai dengan pemuasan nafsu dirinya. Tetapi, tidak jarang yang memanfaatkannya demi kepuasan dan kelancaran di dalam melampiaskan nafsu diri.
Sebagaimana Q.S. Al-Maidah: 8 di atas, seringkali kebencianlah yang menjadikan seseorang tidak bisa adil. Ketika kebencian sudah memenuhi hati dan pikiran, sebaik dan semulia apa pun seseorang, pasti dipandangnya sebagai yang sangat bersalah. Tidak pernah ada benarnya sama sekali. Kebencian, memang membutakan. Dan parahnya, seorang yang mengidap penyakit benci, sulit sekali dinasehati. Tidak gampang diberikan pengertian. Jadi, jika masih dipenuhi dengan benci, maka keadilan tidak mungkin bisa ditegakkan.
Dari itu, yang semula harus disingkirkan adalah kebencian-kebencian diri. Sehingga, diri bisa bertindak dengan adil. Kita, terkhusus menjelang tahun politik di Indonesia tercinta ini, banyak sekali disuguhi kenyataan-kenyataan yang sama sekali jauh dari keadilan itu. Malahan, kesemua tidak lebih hanya pelampiasan-pelampiasan kebencian. Keberhasilan seseorang, tidak diakui sebagai keberhasilan yang musti diakui dan dipuji untuk kemudian dipertahankan dan ditingkatkan. Itu nyata-nyata sebuah keberhasilan. Lebih-lebih soal cela keburukan, maka akan jauh lebih hebat lagi kebencian yang diletupkan untuk mencibir dan mencaci maki. Lagi-lagi, kebencianlah pangkal dari seluruh sikap tidak adil yang nampak selama ini.
Jika sudah saling benci, maka semakin beratlah menegakkan keadilan. Pembicaraan-pembicaraan, dalam konteks apa pun saja akan serupa dengan sumpah serapah penuh cacian. Kritik dan saran, pasti siapa pun akan sangat berharap dan berlapang dada menerima. Tentu, demi perbaikan-perbaikan. Tetapi, jika kritik dan saran itu hanya disampaikan dengan cara-cara yang tidak sopan, sehingga lebih serupa cacian dan makian, maka tidak seorang pun yang akan berkenan menerima. Demikianlah, betapa pentingnya berbahasa dengan cinta. Bertindak adil tanpa ada kebencian sama sekali.
Mungkin, kita perlu sekali mengingat kembali kisah diperintahkannya Nabi Musa untuk menasehati Raja Fir'aun. Terhadap raja yang nyata-nyata sudah kafir, dholimnya luar biasa, Allah Swt tetap memerintahkan kepada Nabi Musa untuk berbicara dengan cinta. Sopan dan lembut. "Pergilah kamu berdua kepada Raja Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Q.S. Toha: 43-44). Dan, adakah di jaman sekarang ini yang melebihi ketidakbaikan Raja Fir'aun? Tetapi, kenapa seringkali digunakan kata-kata yang kasar, bahkan terkesan mempermalukan ketika menasehati sesama?
Dari itu, yang utama musti dihilangkan dari setiap diri adalah rasa benci. Kebencian kepada siapa pun dan terhadap apa pun, harus disingkirkan dari hati dan pikiran. Jika benci sudah tidak ada, otomatis yang ada hanya cinta. Ketika cinta yang sudah dijadikan landasan, bertindak apa pun akan penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Berbicara, menasehati, bahkan mengkritik sekali pun, yang digunakan adalah bahasa-bahasa indah. Bahasa yang tidak akan menjadikan sakit hati atau merasa dipermalukan. Kalau sudah semua penuh dengan cinta, keadilan akan sangat mudah ditegakkan.
Marilah saling menjaga diri. Jangan sampai lisan ini mengucapkan sesuatu yang menjadikan sakit orang lain. Bukankah tanda keberislaman seseorang adalah selamatnya orang lain dari lisan dan tangannya? "Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya." (Al-muslimu man salima al-muslimuuna min lisaanihi wa yadihi). (H.R. Muslim).
M. Nurroziqi. Penulis buku-buku motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]