Kamis, H / 28 Maret 2024

RA Kartini adalah Santri KH Sholeh Darat, Pelopor Penerjemahan Al-Qur’an (2)

Kamis 21 Apr 2022 21:12 WIB

Reporter :EDQP

Ilustrasi

Foto: pegipegi.com

Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini.

Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran).

Kitab Tafsir Kiai Soleh itu, walau tidak selesai 30 juz Al-Qur’an, dicetak pertama kali di Singapura pada tahun 1894 dengan dua jilidan ukuran folio. Sehingga walau pengarangnya telah wafat, pengajian kitab ini jalan terus. Karena referensi pribumi Jawa yang bermukim di tanah melayu. Bahkan kaum muslim di Pattani, Thailand Selatan juga memakai kitab ini.

Hingga kini Karya-karya Mbah Soleh Darat masih dibaca di pondok-pondok pesantren dan majelis taklim di Jawa. Sebagian besar bukunya sampai sekarang terus dicetak ulang oleh Penerbit Toha Putera, Semarang.

Sederhana plus Progresif

Sebagaimana umumnya ulama, Kiai Soleh Darat sangat bersahaja dan tawadhu. Akhlaknya sangat terjaga dari kesombongan. Dalam semua kitabnya, ia selalu selalu merendah dan menyebut dirinya sebagai orang Jawa awam yang tak faham seluk-beluk Bahasa Arab.

Di prolog kitabnya selalu tertulis “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam pendahuluan Terjemahan Matan al-Hikam terbitan Toha Putra Semarang tertera: “ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya al-Allamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Atha’illah. Saya ringkas sepertiga dari asal agar memudahkan orang awam seperti saya. Saya tulis dengan Bahasa Jawa agar cepat dipahami oleh orang yang belajar agama atau mengaji”.

Bahkan, meski beliau keturunan Nabi Muhammad (sayyid/habib), yang nasabnya dari Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) putra Raden Rahmat (Sunan Ampel), hal itu tak pernah dikatakannya. Bagi Mbah Soleh, orang dihormati karena ilmu dan amalnya. Bukan garis keturunannya.

Kiai Soleh Darat selalu menekankan kepada muridnya agar giat menuntut ilmu. Dia berkata: “Inti sari Al-Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”.

Diperingatkannya, orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, maka akan jatuh pada keyakinan sesat. Sebagai misal, paham kebatinan yang mengajarkan bahwa amal yang diterima Allah adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham Manunggaling Kawulo Gusti-nya Syekh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taqlid buta (anut asal ikut).

”Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin (ahli hakikat),” demikian tegasnya. Kata itu tersurat dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid karya Mbah Soleh Darat. Lebih jauh beliau peringatkan masyarakat tak terpesona oleh orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan syariat seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah beliau.

<more>

Tauhid yang Tepat

Kiai Soleh Darat dikenal sebagai ahli ilmu kalam. Ia adalah pendukung teologi Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturudi. Dalam kitab Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid dia mengemukakan penafsirannya atas sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan sepeninggal Nabi, dan hanya satu golongan yang selamat.

Menurutnya, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulillah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah Al-Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan.

Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.

Ikon Kota Semarang

Menurut Ketua Pengajian Ahad Pagi KH Muhamamd Muin, Kiai Soleh Darat lahir di Dukuh Kedung Jumbleng Kecamatan Mayong, Jepara, sekitar tahun 1820 (1235 H). Beliau wafat di Semarang, tanggal 18 Desember 1903/28 Ramadhan 1321 H dalam usia 83 tahun.Kata ”Darat” di belakang nama Kiai Soleh adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat dia tinggal, yakni di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.

Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda di wilayah pesisir utara. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Soleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain.

Lalu bersama ayahnya pergi ke Singapura, belanjut pergi haji sekaligus melanjutkan studi di Mekah. Setelah ayahnya wafat di tanah suci, Soleh berhasil mendapat ijazah dari ulama terkemuka di Mekah dan ia lalu menjadi guru besar di sana.

Banyaknya umat yang hadir di haulnya, memang menjadi tengara kebesaran namanya. Tak dapat dipungkiri, ulama besar itu memang telah menjadi ikon Semarang di masa lalu.

Mengingat beliau termasuk perintis kemerdekaan, tokoh perlawanan terhadap penjajah melalui ilmu pengetahuan, selayaknya diberi gelar Pahlawan sebagaimana sebagian para muridnya.

Penulis : Muhammad Ichw

Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA