Jumat, H / 19 April 2024

PLN Kembalikan 100% Energy Solar Panel di Setiap Rumah, Green Architects Dukung Aturan Baru Kementerian ESDM Ini

Selasa 08 Mar 2022 11:19 WIB

Reporter :EDQP

Ilustrasi

Foto: unplash.com

“Jangan takut untuk switching ke Green Design. Karena kalau rumah kita sudah berkonsep hijau, nanti dengan sendirinya budaya kita yang tinggal di dalamnya akan lebih peduli terhadap alam” – Rima Ginanjar, CEO of Rima Ginanjar Green Architects.

ESQNews.id, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan aturan baru terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya atap (PLTS atap) atau solar panel. Aturan tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021. Peraturan ini juga sebagai langkah untuk merespons dinamika yang ada dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan, serta berkeinginan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.

Seperti yang dikatakan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM  bahwa, “Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap ini dapat dilaksanakan dan telah didukung oleh seluruh stakeholder sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Bapak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 18 Januari 2022,” ujarnya pada Sabtu (22/1/2022).

Melalui Permen baru itu, ketentuan ekspor kWh listrik hasil PLTS atap pengguna ditingkatkan dari 65 persen menjadi 100 persen. Adapun ekspor listrik ini akan digunakan untuk perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dan bisa mengurangi tagihan listrik pelanggan setiap bulannya ke pihak PLN.



Pemilik Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) bisa hemat Rp 1 juta per bulan setelah memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di SPBU. Pertamina menyampaikan penghematan itu berasal dari penghematan biaya tagihan listrik akibat pemasangan PLTS atap. 

“Pertamina mendukung upaya pencapaian Net Zero Emission," ujar Chief Executive Officer Pertamina NRE Dannif Danusaputro.

<more>

Sejalan dengan visi serta misi CEO of Rima Ginanjar Green Architects, Rima Ginanjar yang ingin mengurangi emisi dunia, salah satunya dengan memfokuskan penurunan carbon emission atau gas rumah kaca pada bangunan menjadi Net Zero Emission. Mengapa? Karena bangunan bertanggung jawab sebesar 40% dari pengeluaran energi di dunia.

Rima, yang berlatar belakang seorang arsitek ini menjelaskan salah satu cara untuk pencapaian Net Zero Emission itu dengan Pembangunan Rendah Karbon atau Net Zero Carbon Building. Menurutnya,  Zero Carbon Building adalah bangunan yang energinya sangat efisien dalam pembangunan, pelaksanaan, dan operasinya. Bangunan Rendah Karbon ini bisa menggunakan atau menghasilkan sendiri energi terbarukan yang bebas karbon. Dengan tujuannya, untuk menyeimbangi pengeluaran emisi karbon tahunan.

“Selain memproduksi energi dengan PLTS atap atau solar panel, kita juga bisa mengurangi penggunaan energi  dengan lampu LED, dengan passive design yaitu memaksimalkan alam baik dari segi pencahayaan, insulasi udara, dan air. Untuk itu, per tahun 2022, Kementerian ESDM mengeluarkan peraturan agar PLN mengembalikan sebanyak 100% dari energi yang dihasilkan oleh setiap Solar panel di setiap rumah, sebelumnya pengembalian tersebut hanya sebesar 65%,” papar Rima, seorang wanita cantik lulusan Master jurusan Sustainable Environment Design in Architecture di University of Liverpool, UK.



Ia juga menambahkan, “Di UK sebenarnya sudah ada carbon index, dimana kita bisa melihat berapa banyak jejak karbon sebuah material. Jadi sebagai desainer atau kontraktor kita bisa memilih material yang terkuantifikasi. Make concious sustainable choices.”

“Namun carbon index di Indonesia masih terbilang jarang, solusinya bisa dengan memilih material terdekat dari rumah kita. Kemudian dengan batu bata yang menggunakan campuran recycled plastic, karena dengan adanya campuran ini maka jejak karbonnya akan lebih rendah,” sambungnya.



Dedikasi dan keberanian seorang arsitek untuk memperjuangkan bangunan yang hijau bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Karena tiap bahan baku dan operasional bangunan itu sendiri akan meninggalkan jejak polusi yang berupa karbon, strategi, dan perencanaan arsitek untuk meminimalisir berbagai sumber daya menjadi sangat penting.

“Jangan takut untuk switching ke Green Design. Karena kalau rumah kita sudah berkonsep hijau, nanti dengan sendirinya budaya kita yang tinggal di dalamnya akan lebih peduli terhadap alam,” tutur Rima, istri dari Ahmad Reza Alumni ESQ Business School itu.

Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA