ESQNews.id,
JAKARTA - Perkembangan pesat SI lebih disebabkan citra Islam, yang menjadi
magnet utamanya. Apalagi, SI adalah tempat berkumpulnya para tokoh Islam
terkemuka, sebut saja KH Ahmad Dahlan, Agus Salim, AM Sangadji, Mohammad Roem,
Fachrudin, Abdoel Moeis, Ahmad Sjadzili, Djojosoediro, Hisamzainie, dan
lain-lainnya. orang-orang besar itu sangat dikagumi dan menjadi panutan bagi
sekalian rakyat.
Dalam memimpin,
Tjokro banyak melakukan tindakan-tindakan yang seringkali membuat pemerintah
Hindia Belanda berang. Antusiasme rakyat terhadap SI membuat kaum
kolonialis khawatir akan timbulnya perlawanan massal di kelak di kemudian hari.
Tjokro pernah pula memimpin aksi buruh, membuka ruang pengaduan untuk rakyat di
rumah dan di kantornya, membela kepentingan kaum kromo lewat pidato dan
tulisannya di media pergerakan, mengetuai dibentuknya komite Tentara Kandjeng
Nabi Mohammad (TKNM) untuk memertahankan kehormatan Islam, serta memantik rasa
kebangsaan Indonesia dengan menggencarkan gagasan soal pemerintahan sendiri
untuk orang Indonesia atau zelfbestuur.
Ketakutan pemerintah kolonial terhadap sepak-terjang Tjokroaminoto dan SI membuat mereka terpaksa merangkulnya untuk didudukkan sebagai anggota Volksraad atau Dewan Rakyat. Penunjukan Tjokro itu membuat beberapa golongan di internal SI, terutama dari SI Semarang yang dimotori Semaoen dan Darsono , menentang kebijakan tersebut. Mereka juga tidak sepakat dengan dukungan Tjokroaminoto terhadap rencana pembentukkan milisi bumiputera.
Tjokro juga
seorang jurnalis. Ia pernah memimpin suratkabar Oetoesan Hindia yang merupakan organ internal SI sekaligus sebagai pemilik
usaha percetakkan Setia Oesaha di Surabaya. Juga pernah terlibat dalam Bendera
Islam bersama Agus Salim, Soekarno, Mr. Sartono, Sjahbudin Latief, Mohammad
Roem, AM Sangadji, serta akitvis Islam dan nasionalis lainnya. Fadjar Asia pun terbit sebagai
suratkabar pembela rakyat berkat kerja kerasnya bersama Agus Salim dan
Kartosoewirjo. Tjokroaminoto pun piawai menulis buku, di antaranya adalah dua
buku yang diberi judul Tarich Agama Islam serta Islam dan Sosialisme.
Tjokroaminoto
menguasai Bahasa Jawa, Belanda, Melayu dan bahasa Inggris. Bahasa Jawa
mengandung kelembutan dalam bentuk dan wujudnya, juga dalam pengucapannya. Namun,
dalam kata-kata lembut itu, termuat maksud dan isi yang tajam, serta seringkali
berupa kiasan atau sindiran yang tak kalah menohok, dan itulah yang sering
dilakukan Tjokro untuk “Menghabisi” lawan bicaranya.
Tjokroaminoto wafat pada 1934 dan dimakamkan di Pakuncen, Yogyakarta. Ia tak sempat menghirup udara kemerdekaan yang diperjuangkan oleh murid-muridnya, termasuk Soekarno, yang menjadi proklamator.
Pernah diterbitkan di ESQ Magazine No. 02/V Januari 2009
Baca juga: HOS Tjokroaminoto, Guru Para Pejuang (Bagian 3)